Bagaimana Cara Kerja Investasi Ramah Lingkungan?

Bagaimana Cara Kerja Investasi Ramah Lingkungan?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 25 Jul 2022 15:48 WIB
Ilustrasi uang rupiah
Foto: Getty Images/iStockphoto/Squirescape
Jakarta -

Investasi hijau atau ramah lingkungan saat ini sedang digaungkan oleh banyak kalangan. Hal ini agar investasi mendukung keberlanjutan, tidak membahayakan dan memberikan dampak positif untuk lingungan.

Selain iitu ada sistem traffic light untuk mengklasifikais kegiatan dari sudut pandang yang berkelanjutan yaitu hijau untuk kegiatan positif, kuning untuk kegiatan dalam transisi dan merah untuk kegiatan tinggi emisi dan merusak lingkungan.

Kategori ini dirancang untuk mengarahkan investasi menuju kegiatan ramah lingkungan. Associate Director Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira menyampaikan bahwa tujuan taksonomi sebenarnya adalah untuk memberikan sinyal yang jelas bagi sektor swasta untuk memperbanyak investasinya di kategori hijau.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menjelaskan aalisis CPI menunjukkan bahwa Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 telah mengkategorikan 919 kegiatan usaha, dimana 15 kegiatan dilabelkan "hijau", 422 dilabelkan "kuning", dan 482 dilabelkan "merah".

Studi ini juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan tren portfolio hijau di 3 tahun terakhir. Dia mengungkapkan data menunjukkan bahwa OJK cukup berhasil meningkatkan minat portfolio investasi hijau sejak penerbitan POJK 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan, yang mengidentifikasi 11 jenis portfolio hijau yang perlu dilaporkan oleh sektor keuangan.

ADVERTISEMENT

"Apabila taksonomi diperkuat dan diharmonisasi dengan instrumen hukum serupa, maka potensi investasi hijau akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kegiatan usaha yang berhasil mendapat label hijau", kata Tiza, Senin (25/7/2022).

Senior Analyst CPI Indonesia Luthfyana Larasati mengungkapkan bahwa klasifikasi usaha yang saat ini dikategorikan 'kuning' juga perlu diperjelas perannya sebagai kategori sementara dalam rangka memuluskan transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah emisi.

"Apabila jelas kondisi-kondisi yang kelak akan menyebabkan industri di kategori kuning diperketat menjadi merah, maka investor akan memiliki kepastian untuk investasi jangka panjang," jelasnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Dia mengungkapkan sektor swasta ini mengalami peningkatan nilai kapitalisasi pasar sampai dengan 20% pada Mei 2022 paska pandemi di tahun 2020.

Namun, partisipasi sektor swasta dinilai belum optimal. Meskipun trennya meningkat, sektor swasta baru berkontribusi sebesar 9% (atau US$ 21,3 miliar selama 2015-2019) dari total kebutuhan pendanaan. Untuk mengisi kesenjangan pendanaan dibutuhkan sekitar US$ 250 miliar sampai dengan tahun 2030.

Hingga tahun 2020, pemerintah telah mendanai sekitar 34% dari total kebutuhan pendanaan tersebut, sehingga sisanya sebesar 66% diharapkan dapat diisi dari sumber non-pemerintah.

Kepala Bagian Penilaian Perusahaan Jasa Keuangan, OJK Nurkhamid selaku menanggapi bahwa taksonomi hijau adalah upaya kebijakan dalam penguatan ekosistem keuangan berkelanjutan. "Di samping itu, taksonomi dapat membantu pemantauan berkala investasi, utamanya sektor swasta, melalui peningkatan kualitas pelaporan dan pengungkapan (disclosure), sehingga dapat mendorong mobilisasi investasi pada sektor-sektor hijau," jelas dia.

Direktur Investment Banking Capital Market BRI Danareksa Sekuritas Kevin Praharyawan mengungkapkan bahwa taksonomi kedepannya juga berpotensi untuk mengarahkan investasi dan mendorong penerbitan produk-produk baru berwawasan lingkungan di pasar modal apabila ada "common principle" yang didefinisikan dalam taksonomi, yang berpotensi mengurangi biaya verifikasi dan uji tuntas (due diligence), dan biaya-biaya pendukung lainnya seperti biaya ahli lingkungan.

Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Rudy Utomo mengungkapkan selain taksonomi yang memperkuat ekosistem keuangan berkelanjutan, insentif dinilai berperan penting untuk mendorong peningkatan demand dan supply produk-produk hijau dan berwawasan lingkungan.

Maka diharapkan adanya kebijakan dari regulator terkait insentif yang dapat diberikan kepada investor dan penerbit untuk pengembangan produk kedepannya. Contohnya, perluasan cakupan produk sebagaimana diatur dalam POJK 60/ 2017 tentang Penerbitan Dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond), diharapkan dapat meliputi juga Produk Berwawasan Lingkungan lainnya yang diantaranya memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan tata kelola (ESG Bonds) dan/atau yang memenuhi kriteria Sustainable Development Goals (SDG Bonds).


Hide Ads