Jakarta -
Ekonomi global masih diliputi awan gelap dan tingginya ketidakpastian yang akan berdampak pada semakin beratnya dunia usaha nasional.
Dalam laporan terbarunya, International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,2 persen pada tahun ini, dan 2,9 persen pada 2023.
Perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan krisis pangan dan energi serta menimbulkan ancaman inflasi di banyak negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amerika Serikat dan Inggris mengalami inflasi hingga di atas 9 persen (yoy) atau yang tertinggi dalam empat dekade terakhir di kedua negara tersebut. Angka inflasi di beberapa negara di ASEAN juga meningkat, seperti Singapura dan Thailand yang mencapai sekitar 6 dan 7 persen.
Di Indonesia, meski angka inflasi relatif masih terjaga, namun sejumlah harga pokok di Indonesia telah mengalami penaikan di tahun ini. Sebut saja seperti minyak goreng, LPG nonsubsidi, kedelai, dan tarif listrik beberapa golongan dan nonsubsidi. Sejumlah komoditas juga terancam mengalami penaikan harga seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Harga bahan bakar yang melambung dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga telah mengerek logistic cost. Kenaikan logistic cost salah satunya ditandai dengan naiknya harga tiket pesawat yang terjadi merata pada penerbangan domestik maupun internasional.
Di sisi lain, setelah sebelumnya dibekap Covid-19, World Health Organization (WHO) mengumumkan dunia tengah darurat ancaman penyakit cacar monyet. Hingga kini lebih dari 16 ribu orang terkonfirmasi cacar monyet di 75 negara. Kondisi memicu ketidakpastian yang kian tinggi pada dunia usaha.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners' Association (INSA), Carmelita Hartoto mengatakan, kondisi ketidakpastian dunia dan ancaman inflasi telah membuat kinerja sektor pelayaran nasional semakin berat.
Beban berat pelayaran nasional sudah mulai terasa seiring terjadinya penaikan harga bahan bakar MFO dari PT Pertamina (persero) sejak Januari hingga Juni 2022 yang mengalami kenaikan sebesar kurang lebih 22,5 persen.
Kenaikan harga bahan bakar non subsidi telah menambah beban operasional transportasi laut, mengingat biaya bahan bakar berkontribusi sekitar 40-50 persen terhadap total biaya operasional perusahaan pelayaran.
Carmelita menuturkan, kenaikan harga bunker juga berdampak pada operasional kapal tunda yang dipakai untuk assist penyandaran kapal oleh PT Pelindo dan Badan Usaha Pelabuhan (BUP).
Kenaikan harga bahan bakar ini telah membuat PT Pelindo selaku operator pelabuhan mengusulkan adanya pengenaan biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge) pada pelayanan jasa penundaan di pelabuhan.
"Meski beban biaya semakin berat saat ini, namun pelayaran nasional tetap berkomitmen melayani distribusi barang melalui angkutan laut dengan pelayanan terbaik," kata Carmelita, Rabu (27/07/2022).
Tidak sampai di situ, beban pelayaran nasional semakin berat seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang menyentuh di kisaran Rp 15 ribu.
Pelemahan nilai tukar rupiah ini, sambung Carmelita, telah menambah beban biaya pelayaran nasional khususnya saat melakukan perawatan kapal, karena biaya spare part kapal sebagian besar lebih banyak diimpor dan pembeliannya menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat.
Carmelita menilai, beban berat pelayaran nasional seiring kenaikan harga bahan bakar dan pelemahan nilai tukar rupiah perlu dicarikan solusi bersama, baik oleh perusahaan pelayaran nasional, pemerintah, pemilik barang maupun stakeholder pelayaran lainnya.
Salah satu solusinya dengan memberlakukan fuel surcharge pada pelayaran kontainer domestik seperti yang diterapkan PT Pelindo dalam pelayanan jasa penundaan di pelabuhan.
"Pemberlakuan fuel surcharge merupakan hal yang logis di industri transportasi. Tentu dalam pemberlakuannya pelayaran nasional mempertimbangkan tingkat daya beli masyarakat sehingga tidak menghambat pemulihan ekonomi nasional," katanya.