Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menyoroti inflasi pangan pada Juli 2022 yang mencapai angka 11,47% secara tahunan (year on year). Hal itu mendorong inflasi tahunan menembus 4,94%, tertinggi sejak Oktober 2015.
Syarief menuturkan terkereknya harga pangan berdampak signifikan terhadap inflasi secara umum, sebab inflasi pangan menyumbang 20% dari total pengeluaran masyarakat. Bahkan, tegasnya, untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah inflasi pangan ini mencapai 40 sampai 50% pengeluaran.
"Ini mestinya diatensi betul oleh Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencari solusi terbaik dalam menjaga stabilitas inflasi. Jika harga-harga terus terkerek, daya beli rakyat melemah, ekonomi juga akan terganggu. Perkara pangan bukalah sekadar statistik ekonomi, namun langsung berkaitan dengan perut rakyat, hajat rakyat melanjutkan hidup dan meningkatnya angka kemiskinan. Saya melihat lonjakan inflasi ini sudah masuk lampu kuning, sekaligus anomali bagi negara seperti Indonesia yang sumber daya alamnya melimpah," jelas Syarief dalam keterangannya, Senin (15/8/2022).
Ia mengulas dalam laporan Global Food Security Index (2021) indeks ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 113 negara. Indonesia, cecar Syarief, tertinggal dari Malaysia yang berada pada peringkat ke-39, Thailand (51), dan Vietnam (61). Laporan ini merupakan kompilasi dari berbagai variabel yang membentuk ketahanan pangan selama 10 tahun terakhir (2012 sampai 2021).
Syarief menerangkan indeks tersebut menunjukkan keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi, dan ketahanan sumber daya alam Indonesia masih tertinggal. Bahkan, skor indeks ketahanan pangan melemah dibandingkan tahun 2020 dari 61,4 menjadi 59,2.
Menurut Syarief, inisiatif Bank Indonesia berupa Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (Gernas PIP) tentu hal yang baik, namun jika inisiatif ini tidak dibarengi dengan kerja sama terarah di antara stakeholder dan masyarakat, serta tidak menjangkau akar persoalan inflasi pangan, maka hasilnya tidak optimal.
Jika ternyata pangkal persoalannya pada panjangnya rantai distribusi yang membuat harga pangan melonjak, menurut Syarief pemerintah mesti memperbaiki kinerja rantai pasokan logistik. Namun, lanjutnya, jika akar masalahnya pada tidak terbangunnya ekosistem sektor pertanian, maka sudah sepantasnya orientasi dan prioritas diarahkan pada pembangunan pertanian yang terintegrasi.
"Persoalan akut dan mendasar yang kita hadapi adalah lemahnya sinergi dan koordinasi. Proyek food estate yang digadang-gadang menjadi solusi ketahanan pangan jangan hanya menjadi proyek mercusuar, terlihat megah namun minim hasil. Bahkan jangan sampai proyek hanya menyisakan eksternalitas negatif seperti deforestasi dan kerusakan lingkungan. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama. Membangun lumbung pangan, tetapi abai dengan akses nutrisi, ongkos logistik, dan resiko lingkungan," ujar Syarief.
(akd/hns)