Pesan buat Pemerintah Sebelum Atur Tarif: Ojol Bukan Angkutan Umum

Pesan buat Pemerintah Sebelum Atur Tarif: Ojol Bukan Angkutan Umum

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Selasa, 30 Agu 2022 21:30 WIB
ojol
Foto: Tim Infografis: Luthfy Syahban
Jakarta -

Pemerintah akan menaikkan tarif ojek online (ojol) melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022. Berbagai tanggapan hingga aksi protes pun dilayangkan masyarakat hingga pemberlakuan aturan tersebut terus ditunda.

Di sisi lain, seperti yang kita ketahui ojol sendiri bukan termasuk kendaraan umum melainkan kendaraan berplat hitam atau milik pribadi. Lantas, apakah pemerintah memiliki otoritas dalam menetapkan tarif kendaraan ini?

Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno membenarkan perkara posisi ojol yang saat ini masih merupakan kendaraan pribadi. Oleh sebab itu, akan sangat sulit apabila pemerintah mau mengatur tarifnya menggunakan otoritasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Memang bukan (kendaraan umum). Mereka ada di bawah naungan korporasi. Sehingga, kembali lagi apakah aplikatornya itu mau mengikuti arahan pemerintah atau tidak," ujar Djoko kepada detikcom, Selasa (30/8/2022).

Bahkan, Djoko mengungkapkan, pengajuan ojol untuk menjadi kendaraan umum sudah pernah dilakukan pada 2018 silam dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

ADVERTISEMENT

"Status ojol ini sudah pernah ditolak MK, wong bukan angkutan umum. Kalo nggak salah di tahun 2018. Pun untuk menerapkan aturan ini perlu ada pengawasan dari pemerintah ke perusahaan aplikator, harusnya Kominfo. Kalau tidak ada ya akan sulit," ungkapnya.

Sementara mengenai pengajuain ojol di tahun 2018 tersebut, MK menganggap ojol sendiri tidak memenuhi kriteria sebagai kendaraan umum. Hal ini dikarenakan alat sepeda motor sendiri, yang tidak masuk ke dalam kategori kendaraan bermotor untuk mengangkut penumpang ataupun barang dalam hal keselamatan dan keamanan penumpang.

Oleh karena itu, Djoko menegaskan, pemberlakuan aturan ini bisa jadi sia-sia apalagi jika tidak disertai dengan pengawasan terhadap perusahaan aplikator sendiri.

"Diterpakan juga bisa jadi percuma, karena kembali lagi pada masing-masing aplikator. Kalau nggak ada yang ngikutin ya nggak bisa, belum lagi perihal persenan biaya aplikasi. Itulah, kapitalis yang berkuasa," tambahnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Ia juga menambahkan, pun hingga saat ini jumlah driver ojol tidak diketahui secara pasti dan hanya pihak aplikator yang tahu. Itulah mengapa, hal menyangkut kendaraan ojol ini bergantung sepenuhnya pada para perusahaan aplikator tersebut.

Dengan kata lain, kebijakan pemerintah ini terhalang oleh status kendaraan tersebut yang bukan merupakan kendaraan umum dan berada di bawah naungan korporasi.

Sebagai tambahan informasi, pada 2018 silam para driver ojol berharap bisa mendapat payung hukum layaknya taxi online sebagai kendaraan umum pada masa itu. Oleh karena itu, mereka pun melayangkan gugatan ke MK. Namun, tepat pada 28 Juni 2018 silam MK resmi menolak gugatan tersebut.

Dalam permohonannya, 54 orang pengemudi ojek online yang menggugat Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Para pengemudi ojek online keberatan karena ketentuan pasal tersebut tidak mengatur motor sebagai angkutan umum

Majelis Hakim menjelaskan, pengaturan untuk kendaraan bermotor umum dimaksudkan agar terwujud angkutan jalan yang aman dan selamat bagi pengemudi, penumpang, juga pengguna jalan. Dengan perkataan lain, sepeda motor bukanlah angkutan jalan yang diperuntukkan mengangkut barang dan/atau orang dihubungkan konteksnya dengan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ.

Lebih lanjut dalam putusannya disampaikan pula, perkara ojol ini tidak ada hubungannya dengan konstitusional norma Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ karena faktanya ketika aplikasi online yang menyediakan jasa ojek belum ada atau tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ.

Halaman 2 dari 2
(dna/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads