Serentetan aksi demonstrasi digelar di sejumlah wilayah di tanah air merespons pengumuman pemerintah terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar dan Pertamax. Kondisi itu dinilai bisa menghambat proses pemulihan ekonomi nasional.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpandangan aksi unjuk rasa yang diwarnai mogok kerja bisa mengganggu rantai produksi yang pada akhirnya mengganggu laju perputaran roda ekonomi yang baru pulih dari pandemi virus Corona.
"Sangat mengganggu! Inflasinya yang akan dihadapi saja sudah berat, apalagi kalau ditambah demo yang anarkis," kata dia, Rabu (7/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Luhut Sindir Pendemo: Banyak Nggak Jelas! |
Tak dipungkiri, kenaikan harga BBM bakal memicu adanya kenaikan harga barang dan jasa yang bisa mendorong terjadinya inflasi. Namun aksi unjuk rasa yang digelar berlebihan, lanjut dia, dikhawatirkan bisa memperkeruh kondisi ekonomi nasional yang saat ini tengah tertekan.
"Saya tidak sepakat kalau demo ini sampai anarkis, sampai kemudian menghambat perekonomian semakin memperkeruh keadaannya," beber dia.
Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, langkah pemerintah menaikkan harga BBM memang tak bisa dihindarkan di tengah kondisi saat ini.
Ada lebih banyak program pemulihan ekonomi yang lebih mendesak untuk dibiayai pemerintah ketimbang hanya mempertahankan harga BBM yang penikmatnya didominasi oleh golongan mampu.
"Pertama pemerintah memberikan subsidi terlalu banyak sehingga kalau dibebankan, lama-kelamaan anggaran pemerintah nggak cukup mampu," katanya.
Tauhid mengatakan, pemerintah harus pandai menyiasatinya. Apalagi harga minyak dunia saat ini sudah mengalami penurunan. Ia menyebut harusnya pemerintah masih mampu menahan subsidi.
"Sekarang minyak dunia kan di bawah US$ 90/barel, sementara asumsi perhitungan kemarin adalah pada perhitungan US$ 100/barel. Tentu saja dengan perubahan asumsi, maka anggaran subsidi tidak sebesar itu. Pemerintah harusnya masih kuat kasih subsidi," sambungnya.
Tauhid juga menyebut tidak semua anggaran pemerintah terserap. Artinya ada kemungkinan keuangan pemerintah surplus dan masih ada SiLPA.
"Ketiga tidak semua anggaran terserap, ada kemungkinan surplus, ada kemungkinan adanya kita sebut Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), kemungkinan tahun ini masih ada SiLPA. Belanja pemerintah di luar target masih rendah, masih di bawah target," pungkasnya.
(dna/dna)