Sebuah kabar mengejutkan di pertengahan Oktober datang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI yaitu berita krisis multidimensi melanda dunia atau sering disebut sebagai The Perfect Storm.
Apa itu The Perfect Storm? Itu bukan bencana badai yang dashyat dalam artian harfiah, tapi suatu kondisi krisis terkait ekonomi dan keuangan secara sekaligus dan belum diketahui secara jelas dampak dan skala yang akan terjadi.
Ketua OJK, Mahendra Siregar mengatakan badai krisis tersebut berupa inflasi tinggi, kontraksi ekonomi menuju resesi, dan situasi geopolitik yang tak pasti (11/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, inflasi tinggi disebabkan karena permintaan barang semakin meningkat seiring pemulihan ekonomi sehingga harga komoditas melonjak tinggi. Hal ini diperburuk adanya perang antara Rusia-Ukraina sehingga pasokan energi dan pangan terhambat.
Kondisi inflasi ini terjadi di berbagai negara-negara maju di Amerika, Eropa, dan Jepang yang selama ini berpuluh-puluh tahun berjuang dengan deflasi.
Menkeu menyampaikan inflasi yang terjadi tersebut adalah yang terburuk karena inflasinya semakin meningkat akibat pada awalnya dianggap inflasi bersifat sementara oleh para policy maker di negara-negara maju.
Suku bunga akhirnya dinaikkan secara tajam dengan harapan demand turun dan supply naik terlebih dahulu. Hal itu jika tidak dicermati atau diawasi dengan baik bila ekonomi terkontraksi secara paksa, maka akan menyebabkan resesi.
Suasana geopolitik adanya perang Rusia-Ukraina juga semakin tidak menentu, dampaknya semakin besar hingga saat ini.
Rusia sebagai produsen dan negara pengekspor utama minyak dunia tentu akan menjadi penyebab pertama naiknya harga minyak dunia. Ukraina sebagai pengekspor gandum dunia terbesar ke-5 akan menjadi penyebab naiknya bahan pangan jika perang tersebut terus berlangsung.
Faktor geopolitik yang selama ini diabaikan tersebutlah yang menjadi penanda adanya fenomena The Perfect Strom.
Kira-kira dampak apa yang akan dialami Indonesia jika badai sempurna tersebut singgah?
Lanjut ke halaman berikutnya
Berbagai pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang tidak mudah. Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh 5,72% pada Triwulan III 2022, namun tetap harus ada upaya mengurangi risiko dalam menghadapi badai tersebut jika memang terjadi pada negara kita.
Selama Januari-Agustus 2022 telah terjadi peningkatan jumlah pekerja terkena PHK sebesar 49% atau lebih dari satu juta jiwa dibanding tahun lalu (rmol.id).
Menurut hasil survei dalam "Mekari Whitepaper", Kompas, (10/10), adanya pandemi COVID-19 telah menurunkan daya beli karyawan sebesar 74% dengan 61% tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan 15% yang mampu bertahan jika terkena PHK.
Survei Litbang Kementerian Perhubungan juga memberikan hasil yang mengejutkan setelah kenaikan harga BBM. Banyak pengemudi ojek online (ojol) memiliki pengeluaran yang hampir sama dengan pendapatan yang diterima dalam sehari. 54% dari mereka menjadikan ojol sebagai mata pencaharian utama.
Lalu bagaimana jika benar-benar badai krisis yang sempurna tersebut kita alami, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan diprediksi datang tahun depan.
Tentu gelombang PHK akan semakin besar. Pertumbuhan ekonomi akan kembali melambat seperti di awal-awal pandemi COVID-19. Pemerintah harus bekerja keras agar risiko menurunnya kegiatan ekonomi yang berujung PHK besar-besaran dapat dicegah.
Menurut mantan Menteri Keuangan RI, Chatib Basri bahwa badai finansial tersebut tidak menyebabkan krisis atau resesi, hanya akan memperlambat aktivitas ekonomi saja. Kemungkinannya seperti tahun 2007-2008 saja.
Namun sebagaimana yang disampaikan Menko Marves, bahwa saat ini kondisi ekonomi semua negara baik negara maju maupun negara berkembang sedang tidak baik-baik saja.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipasi dan solutif untuk menghadapi the perfect storm jika memang dialami tahun depan.
Lanjut ke halaman berikutnya
Pemerintah juga dapat melakukan strategi khusus dalam waktu dekat ini dalam konteks kegiatan global. Indonesia sebagai Presiden G-20, dalam KTT G-20 pada 15-16 November 2022 di Bali dapat memanfaatkan momen tersebut untuk merangkul anggota G-20 untuk bersama-sama dan bekerja sama menyusun agenda antisipatif dalam menghadapi perfect storm.
Hal ini perlu dan sangat vital dilakukan untuk menjaga momen pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin pulih dan membaik pasca pandemi COVID-19.
Selain itu, agenda reformasi Indonesia juga sudah tepat pada jalurnya. Seperti implementasi agenda sektor riil sebagai mandat Undang-Undang Cipta Kerja.
Sektor jasa keuangan juga terus mendukung peningkatan nilai tambah industri dengan mendorong penciptaan lapangan kerja dan menjalankan rantai pasok dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki.
Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara akan tetap menerbitkan kebijakan-kebijakan positif di sektor keuangan negara. Sebagaimana lahirnya UU no 2 tahun 2020 dalam menghadapi pandemi COVID-19.
APBN akan bekerja terus sebagai peredam kejut (shock absorber) dalam menjaga pemulihan ekonomi. Pengeluaran negara akan difokuskan untuk hal-hal bersifat fundamental dan strategis yang dapat menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi. Pendapatan dan pembiayaan negara akan terus dioptimalkan untuk menjaga keuangan negara yang sehat.
Jika pertumbuhan ekonomi terus berlanjut baik, niscaya badai sempurna yang disebut The Perfect Storm itu dapat dihadapi bersama dengan lapang dan tanpa adanya sentimen negatif terhadap ekonomi dan keuangan sektor riil maupun non riil.
PHK dapat berkurang. Upah buruh dan pendapatan pekerja sektor formal dan informal meningkat. Daya beli bertambah dan ekonomi terus tumbuh signifikan.
Kantor Wilayah DJPb Provinsi Jawa Timur
Chandra Julihandono SJ
Disclaimer: artikel ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja saat ini
Simak Video "Video Fenomena Rojali di Tengah Krisis Daya Beli"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)