Dunia dihadapi ancaman baru bernama resflasi yakni terjadinya resesi dibarengi tingginya inflasi. Hal ini diakibatkan oleh situasi pelemahan ekonomi global akibat konflik geopolitik yang memicu kenaikan harga pangan dan energi.
Sebelumnya yang mengungkapkan istilah resflasi adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Hal ini melihat berbagai negara mulai mengalami resesi akibat pertumbuhan ekonomi negatif selama 2 kuartal berturut-turut ditambah inflasi melonjak signifikan.
"Sekarang istilahnya adalah resflasi, risiko resesi dan tinggi inflasi," kata Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (21/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas apakah Indonesia akan dihantam resflasi?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani mengatakan Indonesia tidak akan resflasi di tahun depan karena tidak ada tanda-tanda resesi. Hanya saja memang pertumbuhan ekonomi diprediksi melambat.
"Kalau saya bilang tahun depan Indonesia itu bukan resesi, hanya pertumbuhannya melambat. Beda sama resesi, kalau resesi kan 6 bulan berturut-turut mengalami negatif kan," kata Aviliani kepada wartawan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (22/11/2022).
Mengenai inflasi, Aviliani menyatakan bahwa struktur pengeluaran orang Indonesia sekitar 20% kelas atas berkontribusi 45% terhadap total konsumsi. Mereka dianggap tidak pernah terdampak inflasi, sehingga meski harga barang naik tetap melakukan kegiatan konsumsi.
"Terus menengah atas itu kira-kira sekitar 17%. Jadi 45% tambah 17% itu yang tidak terlalu kena terhadap inflasi," sebutnya.
Aviliani menyebut yang terkena dampak inflasi adalah 17% masyarakat kelas bawah. Mereka berkontribusi terhadap konsumsi hanya 17%.
"Makanya di sini itu BLT perlu karena menengah bawah dan yang bawah itu sekitar 35%. Nah jadi artinya saya mengatakan bahwa walaupun terjadi inflasi kalau kita bisa menggarap yang ini, itu akan tetap ada daya beli," jelasnya.
Lihat Video: Siapa Saja yang Keok di 2023