China kini sedang menerapkan lockdown untuk melawan COVID-19. Namun kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru.
Sejumlah pemerintah daerah mengaku kesulitan pembiayaan operasional wilayah untuk tes massal dan karantina besar-besaran di wilayah mereka.
Dikutip dari CNN disebutkan, para pemerintah daerah ini terpaksa menempuh jalan pintas dan mengurangi layanan publik vital, demi penghematan anggaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan nol COVID membuat China keluar dari jurang resesi pada 2020 lalu. Namun sudah hampir tiga tahun, biaya dan beban keuangan negara semakin besar.
Seorang tim China Center di Universitas Oxford George Magnus mengungkapkan jika lockdown dan tes massal ini terus berlanjut maka risiko pada stabilitas keuangan China akan naik.
Menurut dia, kini pemerintah daerah sedang dalam tekanan besar. "Kita bisa lihat dari utang dan pengurangan layanan publik hingga penjualan aset yang mereka lakukan," kata dia dikutip dari CNN, Senin (5/11/2022).
Dia menjelaskan pemerintah daerah di China pengelolaan anggarannya lebih rentan daripada pemerintah pusat.
Kini utang pemerintah membengkak dan mengancam ekononomi China. Ada risiko gagal bayar yang mengintai pada setiap kota-kota di China. Selain itu ada juga risiko lambatnya pertumbuhan ekonomi sampai lapangan kerja yang tidak stabil.
Sudah hampir tiga tahun pemerintah daerah harus menanggung beban kebijakan pengendalian pandemi COVID-19. Mereka harus membayar tes massal, karantina wajib dan layanan selama lockdown dilakukan.
DBRS Morningstar sebuah lembaga pemeringkat kredit global yang berbasis di Toronto mengatakan, awal bulan ini defisit pemerintah daerah harus menjadi perhatian utama. Apalagi akan ada potensi 'hidden debt' yang bisa membuat keuangan pemda makin tertekan.