Dunia dihadapkan pada perfect storm, yaitu tiga "krisis" simultan: geopolitik, eksistential, dan ekonomi. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dan menghasilkan beberapa megatrend yang perlu kita sikapi.
Megatrend 2.0
Pertama, kita akan masuk masa global makroekonomi baru. Kita terbiasa dengan era global-makro pasca PD II, model dan prediksi ekonomi dibangun berbekal pengamatan dan data tersebut. Tapi, dengan perfect storm, perekonomian dunia akan sulit diprediksi.
Negara-negara terbesar mengalami ketidakpastian. Contoh, AS setelah FFR naik agresif, AS ingin mengerem, tapi data ketenagakerjaan dan perkiraan target inflasi belum akan tercapai. Inggris, tetap terancam debt crisis, banyak hutang dipakai membiayai perusahaan-perusahaan zombie yang membebani perekonomian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RRT memiliki sistem social capitalism yang berbeda dari negara-negara liberal kapitalis diatas. Kapitalisme terpimpin ini didukung pemerintah serta partai komunis. Walaupun demikian, mulai muncul juga sinyal bahwa berbisnis dan berdagang di RRT tidak mudah, contoh adanya crackdown pada Alibaba, Tencent, Baidu, serta masalah-masalah hutang perusahaan seperti Wanda, Evergrande, dll.
Sisi positifnya, pemerintahnya menunjukkan kemampuan mengambil kebijakan yang tidak populis. Pada krisis keuangan, banyak negara terpaksa membail out institusi penyebab dengan alasan too big too fail. Akan tetapi, krisis di RRT menunjukkan bahwa pemerintahnya mampu tidak tersandra. Jika ada produk keuangan yang di beli masyarakat menjadi busuk, rakyatnya sendiri yang tanggung, pemerintah tidak tersandra untuk bail out.
Gabungan triple crisis mendisrupsi supply chain dan menaikkan inflasi. Akar inflasi berbeda dari sebelumnya. Kali ini tidak hanya dikarenakan turunnya supply barang, tapi juga dikalikan dengan naiknya biaya produksi dan transportasi (Cost-pushed inflation). Janet Yellen di CNN mengakui telah underestimate inflasi kali ini.
Kedua, pergeseran valuasi korporasi. Di era internet-digitalisasi, sempat marak "Capitalism without capital." Ini adalah dunia dimana perusahaan memiliki valuasi tinggi tanpa aset fisik. Contoh Airbnb, penyedia penginapan tanpa mempunyai aset penginapan, atau Amazon, penyedia layanan ritel tanpa memiliki toko. Waktu IPO valuasi terbang. Dengan adanya penurunan likuiditas, korporasi minim real capital, Meta/Facebook, Google bisa rontok.
Perusahaan klasik, McDonalds, Coca Cola, dengan aset, kapital-kapabilitas fisik akan stay. Value korporasi akan bergeser kembali pada profitability, investasi perlu prudent. Menjamurnya korporasi "tanpa capital" berdampak pada added value yang semakin kecil. Dua hal masih menjadi kunci, yaitu semiconductor dan teknologi pendukung demokrasi (Contoh: Twitter)
Ketiga, meruncingnya kompetisi teknologi. Dulu negara adu militer, sekarang lomba teknologi. Contoh, RRT menerapkan kebijakan transfer teknologi. Lalu, AS memblokir akses Huawei pada semikonduktor untuk melumpuhkan 5G-nya. Sedangkan TSMC berinvestasi pabrik tercanggihnya di Arizona untuk Apple. Belum lagi kompetisi supremasi kecerdasan buatan. Kontrol atas produksi chip menjadi kunci, AS akan berusaha mempertahankan kedaulatan dan supremasi teknologinya.
Keempat, pergeseran sosial-kultural. AS, sedang menghadapi polarisasi politik domestik. Disisi lain, sanksi AS pada RRT menaikkan nasionalisme RRT. Jika RRT berhasil menjadi negara terkaya, dunia akan multipolar. Strategic alignment major power akan sulit. Dunia yang dulunya dicirikan dengan globalisasi, akan bergeser dengan ciri deglobalisasi, disertai dengan naiknya populisme, ultranasionalisme, dan proteksionisme.
Kelima, transformasi politik luar negeri. Dengan Donald Trump, hubungan AS dengan dunia sempat renggang. Tapi adanya perang Russia- Ukraina, banyak negara maju, mendekatkan diri pada AS. RRT mempunyai aset kestabilan internal melalui solidifikasi kekuatan Xi Jinping. Kekuatan ekonominya naik, tercermin dari tingginya devisa RRT yang mencapai level tertinggi sembilan tahun terakhir, serta Belt & Road Initiativenya. Ini terjadi dikala Jepang dan Korea mengalami berbagai tantangan. Sehingga, RRT akan makin berpengaruh di Asia dan di negara-negara berkembang.
Keenam, militer yang tidak hanya invasive, tapi menghancurkan. Pada peperangan sebelumnya, pendekatannya konvensional. Saat ini pendekatannya modern jarak jauh, dengan drone dan misil. Juga akan berkembang tataran peperangan angkasa (Space war) dengan konsekuensi yang critical pada kehidupan. Pendekatan ini lebih meluluhlantakkan. Contoh, Ukraina, bangunan dan infrastruktur habis.
Zelensky mungkin adalah media darling yang menarik simpati sebagai "korban". Akan tetapi, pemimpin seharusnya berpikir lebih panjang, bukan hanya menaikkan popularitas media sosial. Dengan tingkat kehancuran akibat perang, bagaimana masa depan negaranya?
Banyak yang ingin membantu Ukraina. Tetapi secara feasibility, apakah ada kemampuan untuk rekonstruksi? AS, hutang pemerintah sudah pada tingkat 123% dari PDB-nya dan ketimpangan sedang tinggi. Uni Eropa sedang disibukkan dengan harga pangan-energi dan juga ancaman krisis utang. Institusi multilateral seperti World Bank dan IMF juga disibukkan menangani krisis akibat pandemi.
Ketujuh, dulu kita mengenal negara adidaya, kedepan dunia mungkin akan melihat individu adidaya. Contoh, Elon Musk, kritik konvensional melihat dia menghancurkan valuasi Twitter. Tapi control Twitter, dia memiliki kekuatan menentukan benar dan salah. CEO dan CFO Twitter diberhentikan, tapi dewan auditnya tetap. Governance berdemokrasi di dunia digital tidak hanya diatur negara, tapi bisa diatur individu adidaya. Belum lagi kemampuan Tesla di bidang robotics dan perekonomian luar angkasa (Space economy). Perusahaan-perusahaan kembali beriklan di Twitter. Bisa jadi Elon Musk ingin menjadi adidaya. Individu-individu adidaya bisa banyak bermunculan dan menggeser fungsi negara.
Bersambung ke halaman selanjutnya.