Anak kereta alias Anker buka suara rencana skema tarif baru KRL yang membedakan besaran tarif untuk orang mampu dan tidak mampu. Anker memprotes habis-habisan penggolongan tarif si kaya dan miskin ini karena dinilai sangat lah tidak tepat untuk dilakukan.
Wacana tarif baru yang diungkapkan langsung oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi itu disebut tidak tepat, Pengguna KRL yang tergabung dalam KRL Mania tidak setuju pemerintah membagi penumpang KRL kaya dan miskin.
Seperti diketahui, Kementerian Perhubungan berencana untuk mengubah mekanisme tarif KRL mulai tahun 2023. Rencananya, skema tarif akan dibagi menjadi dua, tarif subsidi untuk orang mampu dan tarif yang lebih mahal untuk orang yang mampu. Orang 'berdasi' alias orang kaya akan membayar lebih mahal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau KRL, (tarifnya) nggak naik. Insyaallah nggak akan naik sampai 2023. Tapi, nanti pakai kartu, jadi yang sudah berdasi nanti bayarnya lain. Sampai 2023 yang average tidak akan naik," ungkap Budi Karya dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2022 di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (27/12/2022) yang lalu.
Berikut ini 3 poin protes Anker soal wacana skema tarif si kaya dan miskin.
1. Minta Menhub Ditegur
Anker mengatakan Budi Karya sudah seharusnya mendapatkan teguran keras dari Presiden Joko Widodo karena mengeluarkan wacana yang berujung kontroversi di tengah masyarakat. Mereka juga menyinggung rencana reshuffle yang sudah diutarakan Presiden.
"KRL Mania menyerukan Presiden Joko Widodo menegur Menteri Perhubungan. Apalagi saat ini Presiden sedang mengevaluasi kinerja menteri dan merencanakan reshuffle," ungkap KRL Mania dalam keterangannya, Jumat (30/12/2022).
2. Bisa Bikin Ribut Antar Penumpang
Praktek penggolongan tarif kaya dan miskin dinilai akan menyebabkan kerumitan. KRL Mania juga menyatakan kriteria yang digunakan untuk menggolongkan penumpang pun tidak jelas.
Anker menyatakan potensi keributan bisa terjadi apabila ada pembedaan tarif antar penumpang. Pasalnya, bagi yang membayar lebih mahal akan merasa berhak untuk mendapatkan layanan yang lebih baik.
Sebagai contoh saja, penumpang yang tergolong mampu karena merasa membayar lebih mahal akan saling berebut tempat duduk.
"Dapat terjadi kekacauan karena ada yang merasa berhak untuk duduk atau perlakuan lebih lain. Akan ada keributan antara kaya dan miskin yang diakibatkan kebijakan tersebut," kata KRL Mania.
Lebih jauh KRL Mania mengusulkan agar Kemenhub mengajukan pengalihan subsidi dan kompensasi BBM untuk subsidi transportasi umum saja bila ternyata subsidi yang ada di Kemenhub saat ini bermasalah untuk membiayai angkutan umum.
"Bila ada masalah terhadap besaran subsidi KRL Jabodetabek, sebaiknya Menteri Perhubungan mengusulkan pengalihan subsidi dan kompensasi BBM saja. Kalau tidak, Presiden dapat mempertimbangkan pengganti yang lebih memiliki keberpihakan terhadap transportasi massal, APBN, dan iklim," ungkap KRL Mania.
3. Kontribusi Anker
KRL Mania berpendapat pengguna KRL dan angkutan umum massal lainnya sebenarnya adalah pahlawan transportasi, anggaran, dan iklim.
Pertama, pengguna KRL adalah mereka yang rela menggunakan angkutan umum untuk memperlancar jalan di Jabodetabek. Sebagian pengguna memilih meninggalkan kenyamanan kendaraan pribadi, dan berdesakan di KRL.
Kedua, penggunaan transportasi massal seperti KRL mengurangi melonjaknya BBM Subsidi dan Kompensasi, yang tahun ini saja dianggarkan lebih Rp 260 triliun.
"Dapat dibayangkan lonjakan APBN jika pengguna KRL sejumlah sekitar 800 ribu beralih menggunakan kendaraan pribadi, serta mengisi Pertalite dan Biosolar subsidi," tulis KRL Mania.
Ketiga, penggunaan transportasi umum dapat mengurangi emisi karbon di Jabodetabek. Menurut data, total emisi karbon dari sektor transportasi di Jakarta saja mencapai 182 juta ton. Bila lebih banyak orang menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak, pemakaian 1 liter mobil bensin saja sudah mengeluarkan emisi sekitar 2,3 kg karbon.
(hal/eds)