Senada dengan Bhima, Pakar Digital, Anthony Leong mengatakan, fenomena mengemis online ini bisa terjadi secara berkepanjangan apabila para warganet terus berkontribusi dalam memberikan koin.
"Prinsipnya ini memang satu fenomena di mana kita semakin dinamis ya, perkembangan teknologi dan informasi. Ini menandakan disrupsi bukan hanya terjadi di corporate, di government, tetapi juga terjadi dalam cara-cara orang meminta duit," katanya, saat dihubungi terpisah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, Anthony mengatakan, bagaimana penyelesaiannyasangat bergantung pada bagaimana publik bersikap. Menurutnya, media sosial harusnya dipergunakan sebagai sarana edukasi dalam memberikan pencerahan maupun esensi dengan substansi yang lebih baik.
Sementara itu, Pengamat Sosial Devie Rahmawati mengatakan, sebetulnya fenomena memohon pertolongan ini bukan hal baru, hanya saja metodenya yang semakin beragam karena semakin terbukanya ruang digital.
"Memang salah satu yang perlu diperhatikan, ada orang yang meminta pertolongan karena keterdesakan, tapi ada juga yang karena ingin memenuhi gaya hidup, atau yang ketiga memenuhi kebutuhan kecanduannya, dan yang keempat dalam konteks penipuan," kata Devie.
Menurut catatan penelitian yang dibaca Devie, pada praktek mengemis di jalanan pada tingkatan yang ekstrem, para pengemis ini bisa dengan nekat melukai anggota tubuhnya demi memastikan dirinya bisa mendapatkan empati dari masyarakat.
"Jadi tidak heran kalau kemudian di dunia digital hal-hal ekstrem seperti tadi juga sangat mungkin terjadi. Hanya saja modelnya berbeda, channelnya berbeda," terangnya.
Lebih lanjut Devie mengatakan, tidak bisa dipungkiri kalau ruang digital kini menjadi salah satu arena untuk mencari pendapatan. Hanya saja, apabila menggunakan cara yang mengeksploitasi, hal itulah yang membuatnya menjadi bermasalah.
(dna/dna)