Jakarta -
Utang pemerintah era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kian menumpuk dikritik Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kondisi itu dinilai bisa mengancam masa depan dan nasib para pekerja Indonesia.
"Utang luar negeri kita terus menumpuk, sedangkan cadangan devisa kita juga menipis karena harus menahan nilai tukar rupiah yang belakangan ini juga melemah. Kita juga tahu bahwa gelombang PHK secara massal terjadi di sana sini. Ini semua tentunya mengancam masa depan dan nasib para pekerja nasional kita," kata AHY dalam postingan akun twitter @PDemokrat, dikutip Selasa (24/1/2023).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis posisi utang pemerintah per 30 Desember 2022 sebesar Rp 7.733,99 triliun. Jumlah itu naik Rp 179,74 triliun jika dibandingkan posisi utang bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.554,25 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan realisasi tersebut, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari bulan sebelumnya 38,65% menjadi 39,57% per 30 Desember 2022. Jika dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu, jumlah itu justru sudah turun dari posisi 40,74%.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebut kritik yang disampaikan AHY terkait utang tidak sesuai dengan kondisi negara saat ini.
"Tentu kritik seperti yang disampaikan Mas @AgusYudhoyono ini harus dihormati. Kita berterima kasih. Ini tanda demokrasi berdenyut karena ruang perbedaan dirawat. Sayang kritik @PDemokrat ahistoris, terjebak pada angka, bukan kondisi faktual yang dinamis," katanya melalui akun twitternya @prastow. Kutipan sudah disesuaikan dengan ejaan yang benar.
Utang pemerintah naik terhadap PDB saat COVID-19. Cek halaman berikutnya.
Menurut Yustinus, kondisi utang pemerintah pada periode 2015-2019 bisa dijaga dengan baik tercermin dari rasio utang batas maksimal 30% terhadap PDB. Lonjakan utang Indonesia disebut terjadi karena pandemi COVID-19.
"Lihat saja lonjakan dari 30% ke 39,38% dalam setahun di 2020, demi menangani dampak kesehatan, sosial dan ekonomi karena COVID-19. Bukankah ini keniscayaan dan justru menunjukkan tanggung jawab pemerintah yang sekarang diapresiasi sebagai salah satu negara yang berhasil mengatasi pandemi dengan baik?," ujarnya.
Yustinus lalu menunjukkan grafik terkait akumulasi defisit fiskal Indonesia pada 2020-2021 yang hanya 10,7% terhadap PDB. Capaian itu lebih baik dibandingkan negara lain seperti Thailand 17%, Filipina 22,1%, China 11,8%, Malaysia 13,6%, dan India 16,5%.
"Ini yang saya kritik sebagai ahistoris dan nirkonteks. (Utang) kita prudent," tegas Yustinus.
Utang Indonesia meningkat juga sejalan dengan realisasi belanja yang membengkak. Belanja perlindungan sosial selama pandemi COVID-19 disebut mencapai Rp 1.635,1 triliun atau tertinggi sepanjang sejarah demi menolong rakyat yang terdampak.
Oleh sebab itu, AHY dinilai perlu mendapat asupan informasi yang komprehensif mengenai utang Indonesia. Apalagi pemerintah sudah bekerja keras menekan defisit anggaran menjadi 2,38% atau Rp 464,33 triliun di 2022, jauh di bawah target Rp 840 triliun.
Dengan kondisi ini tak bisa melihat utang hanya dari angka saja. Selain untuk menangani pandemi COVID-19, kebijakan utang juga disebut banyak untuk program atau proyek 880 infrastruktur dasar, penyediaan vaksin bayi, pengelolaan sampah, hingga penurunan emisi.
"Betul bahwa posisi utang akhir 2022 Rp 7.733,99 triliun. Besar ya? Iya! Sudah saya jelaskan konteks dan reasoning di atas. Kue ekonomi dan produktivitas kita pun membaik. Rasio utang sudah turun dari 40,74% di 2021 menjadi 39,57% di 2022. Mosok dibilang ugal-ugalan sih? Optimis ya Mas (AHY)," pungkas Yustinus.