Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengaku siap untuk meladeni Sekretaris Departemen IV DPP Partai Demokrat Hasbil Mustaqim Lubis untuk debat secara langsung membahas utang. Pernyataan Yustinus ini sebagai respons atas kicauan Hasbil yang menyebut utang rezim saat ini sangat tinggi.
Awalnya, Hasbil lewat akun Twitternya @Hasbil_Lbs mengatakan, utang rezim ini sangat tinggi yang mencapai Rp 7.733 triliun.
"Kalau om @prastow senang menampilkan data, kami juga punya om. Silahkan ditanggapi, dengan senang hati saya menunggu. Sekali lagi, rezim ini akan meninggalkan utang yg sangat tinggi (Rp.7.733, 99 Triliun). Berani mengakuinya om?" cuti Hasbil seperti dilihat detikcom, Rabu (25/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam cuitannya, Hasbil juga melampirkan foto atau gambar yang memberikan penjelasan soal utang. Dijelaskannya, rasio utang saat ini sudah di sekitar level 40%. Diakuinya, memang masih jauh dari pagu APBN yakni di level 60%.
"Akan tetapi berbicara tentang utang kita sebaiknya merujuk kepada acuan GUID 5250 Guidance on the Audit of Public Debt sebagaimana tercantum pada Laporan Review atas Kesinambungan Fiskal BPK 2020 yang pada tahun 2021 tidak diterbitkan," terangnya.
Kemudian dijelaskan, kerentanan utang terhadap kondisi perekonomian ditunjukkan dengan kondisi penerimaan negara yang berdampak pada kesinambungan utang. Penerimaan negara diperlukan untuk membayar utang.
"Berdasarkan perhitungan, beberapa indikator telah melampaui batasan/threshold pada GUID 5250 Guidance on the Audit of Public Debt," ujarnya.
Adapun rinciannya untuk debt service to revenue nilainya 46,77% pada tahun 2020, melampaui batas IMF 25-35%. Sementara, interest to revenue nilainya 19,06%, di atas batas IMF 7-10% dan IDR 4,6-6,8%. Berikutnya, debt to revenue nilainya 368,99% atau di atas batas IMF 90-150% dan IDR 92-167%.
Merespons hal itu, Yustinus mengatakan, pihaknya membaca dan mempelajari Laporan Hasil Reviu Atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020. Namun, kata dia, kondisi tersebut sudah terpaut 2 tahun anggaran dari sekarang dan 2020 merupakan tahun puncak himpitan pandemi COVID-19 terjadi.
Yustinus pun kemudian memberikan penjelasan panjang lebar. Dia menerangkan, di tahun 2020 ekonomi melambat, penerimaan tertekan. Tapi di sisi lain belanja harus ditingkatkan untuk menanggulangi COVID dan pemulihan ekonomi. Konsekuensinya, defisit APBN melebar. Menurutnya, Perppu 1 Tahun 2020 merupakan terobosan penting.
Tahun 2023, pandemi beralih ke fase endemi. Aktivitas pun mulai menggeliat. Berbagai indikator makroekonomi dan keuangan negara mengalami perbaikan, seperti pertumbuhan ekonomi. Karenanya, tahun 2020 tidak relevan jika dijadikan bahan diskusi pengelolaan utang saat ini.
"Bahkan jika kita perhatikan pada dokumen yang sama, perbandingan rasio utang atas PDB Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara-negara ASEAN lainnya yakni 39,4%, lebih rendah dari Malaysia, Singapura, Thailand. Pentingnya membaca komprehensif ya," cuit Yustinus.
Lanjutnya, salah satu rekomendasi BPK adalah pemerintah perlu menetapkan strategi yang tepat untuk mencapai target fiskal yaitu defisit kembali pada batas tidak melampaui 3% dari PDB. Realisasi APBN 2022 defisit mencapai 2,38% atau setahun lebih cepat dari mandat Perppu 1/2020.
Melanjutkan amanat UU, pemerintah melakukan konsolidasi fiskal menuju tingkat rasio defisit kembali di bawah 3% PDB di tahun 2023, termasuk melanjutkan upaya reformasi perpajakan dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, antara lain melalui penerbitan UU HPP.
"Pinjem Farel dan Abah Lala: kita harus adil dalam membanding-bandingkan. Setiap rezim pasti meninggalkan utang, pun juga kenaikan nilai aset, PDB, dan belanja negara. Nah, sesekali liriklah data ini. Biar nggak mikir utang melulu. Belanja, aset, PDB kita meningkat signifikan," kata Yustinus.
Analisis IMF terbaru, kata Yustinus menyebutkan bahwa utang pemerintah masih moderat dan tetap sustain, kepercayaan para investor tetap besar, peringkat kredit juga masih di investment grade. Terkait indikator kerentanan fiskal yang mengacu pada batasan yang direkomendasikan IMF dan IDR, dapat dijelaskan bahwa batasan indikator tersebut didasarkan pada pertimbangan batasan indikator kerentanan dalam kondisi normal (sebelum adanya pandemi COVID-19).
Namun, pemerintah tetap memberikan perhatian dengan menyiapkan upaya antara lain optimalisasi sumber pembiayaan non utang (SAL dan SILPA), pinjaman lembaga multilateral & berbasis penanganan COVID-19 dengan bunga ringan, serta kerjasama dengan Bank Indonesia (BI) melalui SKB I sampai dengan SKB III. Ia pun mengaku siap jika diajak debat secara langsung dalam sebuah forum.
"Demikian tambahan penjelasan kami. Jika ada hal yang ingin dielaborasi, sangat dipersilakan. Harapan saya, mari gunakan data dan informasi terbaru agar lebih fair, objektif, dan kontekstual. Jika misalnya mau debat langsung di satu forum, kami pun S14P!" cuit Yustinus.
detikcom telah meminta izin Yustinus Prastowo untuk mengutip cuitannya. Yustinus pun telah memberikan izin.
(acd/das)