Kemenkeu Sebut Macet di Jakarta Tanda Ekonomi Menggeliat, Faktanya?

Kemenkeu Sebut Macet di Jakarta Tanda Ekonomi Menggeliat, Faktanya?

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 12 Feb 2023 19:15 WIB
Jalan TB Simatupang arah Fatmawati, Jakarta Selatan terpantau padat merayap, Selasa (7/2/2023). Kemacetan terjadi usai genangan surut di lokasi.
Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Kementerian Keuangan menyatakan kemacetan yang terjadi di Jakarta merupakan pertanda baik bagi ekonomi Indonesia. Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyebutkan kemacetan yang terjadi mencerminkan adanya geliat ekonomi yang mulai berjalan semenjak dihantam pandemi COVID-19.

"Macet menjadi salah satu indikasi bahwa ekonomi bergeliat. Tentu ini tidak mengesampingkan pentingnya membangun transportasi publik yang baik," kata Yustinus, kepada detikcom pada Kamis (9/2/2023) kemarin.

Kemudian dalam utasnya, di akun Twitter pribadinya @prastow, Yustinus menjelaskan kemacetan lalu lintas turut dipengaruhi tingkat penjualan kendaraan. Pada 2022, penjualan mobil naik 18,76% dan sepeda motor naik 3,24%. Itu adalah tanda daya beli masyarakat tetap stabil dan terjaga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan adanya kepadatan di jalan, dia juga menyebutkan hal itu menjadi representasi dari aktivitas masyarakat untuk menggerakkan perekonomian.

"Macet kerap menjengkelkan, namun itu representasi aktivitas masyarakat. Makin menggeliat tentu makin mampu mendorong aktivitas ekonomi. Sejalan dengan itu, pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter yang kuat," kata Yustinus dalam utas Twitter-nya.

ADVERTISEMENT

Meski begitu, pendapat berbeda diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang. Menurutnya ada perbedaan pola pikir antara Kemenkeu dengan praktisi transportasi.

Menurutnya tidak ada kabar baik di balik kemacetan di jalan, bila ada kepadatan di jalan artinya ada kesalahan sistem transportasi di suatu wilayah.

Deddy menegaskan bila dilihat dari sisi pengembangan transportasi, kemajuan sebuah bangsanya bukan dilihat dari kepadatan pengguna kendaraan di jalan-jalannya apalagi sampai ada kemacetan.

"Nah ini kalo orang ekonomi bilang kemajuan sebuah bangsa dapat diukur dari jumlah pengguna mobilnya di jalan. Tapi kalo orang transport seperti saya pasti akan mengatakan, kemajuan sebuah bangsa hanya diukur dari prilaku pengguna kendaraan di jalan raya," ungkap Deddy kepada detikcom, Minggu (12/2/2023).

Nah menurutnya keberhasilan pengembangan transportasi di suatu wilayah adalah saat semua penghuninya mau menggunakan angkutan umum. Di sisi lain, pemerintahnya pun harus memberikan angkutan umum yang nyaman dan dapat diandalkan.

"Berhasilnya transportasi tidak dapat diukur dari jumlah pengguna kendaraan pribadi, tapi diukur dari keberhasilan menyediakan angkutan umum massal yg ramah, nyaman, aman, selamat," kata Deddy.

Deddy pun menyoroti data penjualan kendaraan yang dipaparkan oleh Yustinus di utasnya. Menurutnya, pemerintah seakan-akan terlalu mendukung penggunaan kendaraan pribadi di tengah masyarakat daripada mengajak masyarakat naik angkutan umum.

Apalagi pemerintah pun sempat mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan pembelian kendaraan saat pandemi COVID-19. Menurutnya, fasilitas pajak 0% untuk pembelian mobil yang sempat dilakukan saat pandemi hanya membuat penggunaan kendaraan pribadi membludak dan ujungnya menimbulkan kemacetan.

"Political will pemerintah lebih memilih vehicle oriented daripada transit oriented yang berguna untuk memajukan angkutan umum massal baik berbasis jalan atau berbasis rel," sebut Deddy.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Macet Bikin Rugi

Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno juga menyoroti pernyataan Yustinus. Menurutnya, kemacetan bukan sebuah tanda pergerakan ekonomi, namun justru sebuah pemborosan yang besar.

Dia mengatakan dengan adanya kemacetan di jalan yang dipicu banyaknya kendaraan pribadi artinya semua orang harus membuang-buang bahan bakar secara percuma. Bukan ekonomi yang bergerak justru ekonomi yang merugikan yang terjadi karena macet.

Kemacetan juga merugikan negara secara besar-besaran, subsidi BBM triliunan rupiah dibakar di tengah kemacetan. Djoko menilai sangat tidak tepat menyebut kemacetan tanda geliat ekonomi.

"Kalau macet kan karena banyak kendaraan pribadi di jalan, kan artinya ini jatuhnya malah pemborosan. BBM-nya berapa? Subsidi BBM berapa triliun dibakar cuma untuk kemacetan. Kurang tepat kalau diglorifikasikan begitu," sebut Djoko ketika dihubungi detikcom.

Djoko juga mengungkapkan diperkirakan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya dapat membuat kerugian dalam nominal Rp 71 triliun lebih. Mulai karena pemborosan waktu hingga pemborosan BBM yang terbuang sia-sia.

"Dampak sekarang, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek sebesar Rp 71,4 triliun per tahun akibat pemborosan bahan bakar dan waktu hilang. Terjadi pemborosan BBM sebesar 2,2 Juta liter per hari," ungkap Djoko.


Hide Ads