Sederet Fakta di Balik Neraca Dagang RI Surplus Terus 33 Kali

Sederet Fakta di Balik Neraca Dagang RI Surplus Terus 33 Kali

Anisa Indraini - detikFinance
Kamis, 16 Feb 2023 08:30 WIB
Neraca perdagangan pada Oktober 2017 tercatat surplus US$ 900 juta, dengan raihan ekspor US$ 15,09 miliar dan impor US$ 14,19 miliar.
Sederet Fakta di Balik Neraca Dagang RI Surplus Terus 33 Kali/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2023 mengalami surplus US$ 3,87 miliar. Capaian itu membuat Indonesia mengalami surplus selama 33 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

"Neraca perdagangan Januari 2023 tercatat surplus US$ 3,87 miliar. Neraca perdagangan Indonesia sampai Desember 2022 ini membukukan surplus selama 33 bulan berturut-turut sejak Mei 2020," kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah dalam konferensi pers, Rabu (15/2/2023).

Berikut 3 Fakta Neraca Dagang RI Surplus 33 Kali:


1. Ekspor Lebih Besar dari Impor

Neraca dagang surplus karena ekspor lebih besar dari impor. Ekspor Indonesia pada Januari sebesar US$ 22,31 miliar, sedangkan impornya US$ 18,44 miliar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

2. Pemicu Neraca Perdagangan Surplus

Habibullah menjelaskan surplus neraca perdagangan Indonesia berasal dari sektor nonmigas sebesar US$ 5,29 miliar dengan komoditas penyumbangnya bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, serta besi dan baja.

Di sisi lain, nilai itu tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$ 1,42 miliar dengan komoditas penyumbangnya minyak mentah dan hasil minyak.

ADVERTISEMENT

3. Negara Penyumbang Surplus

Tiga negara penyumbang surplus terbesar yaitu Amerika Serikat (AS) yakni surplus US$ 1,17 miliar. Komoditas penyumbangnya adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, pakaian dan aksesorisnya (bukan rajutan), serta lemak dan minyak hewani/nabati.

Kemudian Filipina surplus US$ 909,2 juta di mana terbesar pada komoditas bahan bakar mineral, kendaraan dan bagiannya, serta besi dan baja. Lalu India surplus US$ 810,5 juta di mana terbesar pada komoditas bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani/nabati, serta besi dan baja.




(aid/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads