Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak semuanya ditindaklanjuti. Adapun transaksi ini berdasarkan hasil laporan PPATK periode 2009-2023 yang disampaikan ke Kemenkeu.
"Kalau genusnya adalah terkait kepabeanan, kami serahkan ke Bea Cukai. Kalau perpajakan kami serahkan ke Perpajakan. Dan memang tidak bisa dikatakan ditindaklanjuti 100%," katanya dalam Raker dengan Komisi III DPR RI, dikutip Senin (24/3/2023).
"Kemarin ditanyakan, apakah semua ditindaklanjuti? belum semua ditindaklanjuti. Kami bisa jawab belum semua ditindaklanjuti," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ivan menyebut ada beberapa laporan yang masih dalam tahap penelaahan. Tetapi ada juga yang sudah selesai ditindaklanjuti, hingga oknum yang bersangkutan dipecat.
"Ada yang masih dalam penelaahan. Ada yang sudah sampai finish, misalnya sudah dipecat, sudah dihukum, sudah P21, banyak juga yang sudah dilakukan seperti itu. Tapi banyak juga yang belum ditindaklanjuti," terangnya.
Ivan menegaskan bahwa informasi Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dilakukan PPATK mengandung Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Jika tak ada indikasi TPPU informasi itu tidak akan disampaikan ke publik.
Namun ia menjelaskan transaksi janggal mencapai Rp 349 triliun di Kemenkeu bukanlah korupsi. Sempat ada isu yang berkembang bahwa transaksi tersebut adalah tindak pidana korupsi.
Di hadapan Komisi III DPR RI Ivan memberikan penjelasan. Awalnya, anggota DPR Komisi III, Desmond J Mahesa bertanya kepada Ivan, apakah ada tindak pidana kejahatan di Kementerian keuangan atau tidak.
"Nah dalam konteks kebocoran ini saya ingin ada jawaban dari Pak Ivan, memang tidak beres kelembagaan dirjen pajak atau memang ada tikus seperti Alun Alun (Rafael Alun) itu?" tanya Desmond dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, Selasa (21/3/2023).
Ivan menjelaskan, transaksi Rp 349 bukan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Tetapi terkait dengan tugas pokok Kemenkeu sebagai tindak pidana asal.
"Jadi Rp 349 triliun itu bukan, ini kita tidak semua bicara tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Bukan di Kementerian Keuangan, tapi terkait dengan tugas pokok Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal," ujar Ivan.
Menurutnya, kebanyakan kasus berupa kasus ekspor impor, hingga perpajakan. Untuk kasus ekspor impor, jumlahnya bisa lebih dari Rp 100 triliun.
"Kebanyakan kasus impor ekspor, kasus perpajakan. Dalam satu kasus saja kalau bicara ekspor impor lebih dari Rp 100 triliun, lebih dari 40 triliun," jelas Ivan.
Tindak pidana asal di Kemenkeu tersebutlah yang kemudian disampaikan kepada penyidiknya. Artinya, transaksi janggal Rp 349 triliun tidak bisa diterjemahkan sebagai tindak pidana di Kemenkeu.
"Jadi tindak pidana asal, misal kepabeanan, perpajakan, itu yang disampaikan ke penyidiknya. Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan tindak pidananya itu di Kemenkeu," bebernya.
"Kesalahannya adalah diterjemahkan itu terjadi di Kementerian Keuangan, tidak, tidak bisa seperti itu," tambahnya.
(eds/eds)