Belakangan ini telah terjadi pergolakan pasar yang sebagian didorong oleh dua dari tiga kegagalan perbankan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat (AS). Sementara itu, pemberi pinjaman Swiss, Credit Suisse dibeli oleh saingannya yaitu UBS Group dalam sebuah merger.
Ketakutan akan hal tersebut terjadi pada perbankan lain tetap ada. Para investor juga khawatir ekonomi global akan berdampak apabila suku bunga lebih tinggi melemahkan para pemberi pinjaman.
Dilansir dari Reuters, Minggu (26/3/2023), berikut ini merupakan daftar beberapa krisis keuangan terbesar dalam 40 tahun terakhir:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Krisis Simpan Pinjam (Savings and Loan/S&L) di AS
Lebih dari 1.000 lembaga simpan pinjam di AS bangkrut dalam krisis yang terjadi selama tahun 1980-an. Hal ini mengakibatkan adanya biaya yang harus dibayarkan hingga US$ 124 miliar ke pembayar pajak.
Pergolakan ini berakar pada pinjaman real estat dan komersial yang tidak sehat yang dibuat oleh S&L setelah Amerika Serikat menghapus batasan suku bunga atas pinjaman dan simpanan mereka, yang memungkinkan mereka mengambil lebih banyak risiko.
2. Kerugian Obligasi Sampah atau Junk Bond
Setelah hampir satu dekade pertumbuhan supercharged, pasar obligasi sampah merosot pada akhir 1980-an menyusul serangkaian kenaikan suku bunga oleh The Fed.
Michael Milken telah membantu mempopulerkan instrumen keuangan, dengan banyak yang menggunakannya sebagai cara mendanai pembelian dengan manfaat atau leverage. Akan tetapi, akhirnya pasokan melebihi permintaan, dan pasar mengalami penurunan. Milken didakwa dengan sekuritas dan pelaporan pelanggaran. Dia membayar denda US$ 200 juta dan menjalani hukuman 22 bulan di penjara.
3. Krisis Peso Meksiko
Pada bulan Desember 1994, Meksiko mendevaluasi mata uangnya, peso, setelah defisit neraca berjalan negara tersebut meningkat dan cadangan internasionalnya menurun. Meksiko akhirnya mendapatkan dukungan keuangan eksternal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan bailout US$ 50 miliar dari Amerika Serikat.
4. Krisis Mata Uang Asia
Arus keluar modal yang besar dari ekonomi Asia pada pertengahan hingga akhir 1990-an memberi tekanan pada mata uang di kawasan ini, yang memerlukan dukungan pemerintah.
Krisis dimulai di Thailand, di mana pihak berwenang harus mendevaluasi baht Thailand setelah berbulan-bulan mencoba untuk mempertahankan mata uangnya terhadap dolar menguras cadangan devisanya. Hal itu selanjutnya mulai menyebar ke pasar lain di Asia, termasuk Indonesia, Korea Selatan dan Malaysia.
Badan-badan organisasi global, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), harus turun tangan dengan paket penyelamatan senilai lebih dari US$ 100 miliar.
Bersambung ke halaman selanjutnya.