Yang Perlu Diwaspadai RI dari Proyek Keamanan Global Gagasan China

Yang Perlu Diwaspadai RI dari Proyek Keamanan Global Gagasan China

tim detikcom - detikFinance
Minggu, 07 Mei 2023 15:59 WIB
Ilustrasi bendera China/ebcitizen.com
Foto: (istimewa)
Jakarta -

Proyek Global Security Initiative (GSI, Inisiatif Keamanan Global) yang digagas oleh Presiden China, Xi Jinping, perlu diwaspadai dan disikapi secara hati-hati baik oleh Indonesia maupun negara-negara Asia Tenggara yang lain.

Pernyataan ini disampaikan oleh Johanes Herlijanto, ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), dalam seminar berjudul "Global Security Initiative (GSI) Ala Xi Jinping: Pandangan dan Dampaknya bagi Asia Tenggara," Sabtu 6 Mei 2023 di Jakarta.

Selain Johanes, yang juga pemerhati China asal Universitas Pelita Harapan Jakarta, hadir pula Sofwan Al Bana, pakar Hubungan Internasional asal Universitas Indonesia, Depok.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam paparannya, Johanes mengatakan bahwa GSI yang merupakan proyek keamanan global gagasan RRC ini dilandasi oleh beberapa prinsip utama, yaitu: (a) memegang teguh visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan; (b) menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara; (c) setia pada prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB); (d) memperhatikan dengan serius concern keamanan yang sah dari semua negara; (e) menyelesaikan perbedaan dan sengketa antar negara dengan damai melalui dialog dan konsultasi; dan (f) berkomitmen menjaga keamanan tradisional maupun non-tradisional.

GSI juga menekankan penolakan RRC pada "mentalitas Perang Dingin," unilateralisme, konfrontasi antara blok, dan hegemonisme.

ADVERTISEMENT

Namun menurut Johanes, prinsip-prinsip di atas menuai kritik dan dianggap sekedar retorika oleh para pengamat kebijakan internasional Cina.

"Sebagai contoh, Rajeswari Pillai Rajagopalan, direktur pada Centre for Security, Strategy and Technology (CSST) yang berbasis di New Delhi, menganggap China memperlihatkan kemunafikan karena mengajukan prinsip prinsip yang telah mereka langgar sendiri," tutur Johanes.

"Rajagopalan merujuk pada konflik yang sering mewarnai sengketa perbatasan antara China dan India sebagai contoh dari tindakan China yang bertentangan dengan prinsip prinsip yang mereka gagas di atas," lanjut Johanes.

"Contoh lain adalah gagasan menolak 'mentalitas perang dingin' dan konfrontasi blok, namun bersikap serupa dengan membangun kemitraan tanpa batas dengan Rusia dan upaya membangun pakta keamanan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik," jelasnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.



Dalam pandangan Johanes, prilaku China di seputar Laut China Selatan (LCS), bahkan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna merupakan contoh relevan yang memperlihatkan kontradiksi antara gagasan indah GSI dengan prilaku nyata China.

Dalam penjelasannya, Johanes merujuk pada berbagai insiden di mana kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China berhadapan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara tersebut dalam satu dasawarsa terakhir.

Filipina dan Vietnam merupakan negara yang wilayah ZEE nya seringkali dilanggar oleh kapal-kapal penjaga pantai China.

"Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa di LCS. Setidaknya sejak tahun 2010, China telah berulang kali melakukan aktivitas yang tak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE kita di sekitar Kepulauan Natuna," tutur Johanes.

Menurut Johanes, tingkah laku China di atas menyebabkan berbagai kelompok masyarakat di negara-negara Asia Tenggara bersikap hati-hati dan waspada terhadap gagasan asal China tersebut. Johanes merujuk pada tulisan Hoang Thi Ha, peneliti dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, yang memperlihatkan minimnya dukungan masyarakat Asia Tenggara terhadap GSI.

"Dari 1308 responden yang turut serta dalam survey yang dilakukan Hoang Thi Ha dan para koleganya, hanya 27,4 persen merasa yakin atau sangat yakin bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi wilayah Asia tenggara. 44,5 persen responden merasa kurang yakin atau bahkan tidak yakin sama sekali," jelasnya.

Ia juga menuturkan bahwa hanya 19 persen responden yang meyakini bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi Indonesia. Senada dengan mayoritas responden survey yang dilakukan oleh lembaga think tank asal Singapura di atas, Johanes pun beranggapan bahwa GSI perlu disikapi dengan kewaspadaan. Ia pun mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia yang terkesan hati-hati dalam menanggapi inisiatif China tersebut.

"Indonesia hanya menyatakan memperhatikan keberadaan GSI dan siap untuk bekerja bersama pihak Cina dalam memastikan kedamaian dan stabilitas melalui dialog dan diplomasi. Pernyataan ini, menurut pakar hukum internasional Aristyo Rizka Darmawan, memperlihatkan bahwa Indonesia hanya secara prinsip setuju untuk bekerja bersama China dalam hal GSI sambil menunggu pihak China mengartikulasi dan mengelaborasi insiatif yang masih belum terlalu jelas itu," lanjut Johanes.

Selama China masih sibuk membangun kehadiran militernya di perairan LCS, menerapkan operasi gray-zone di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara, termasuk di perairan dekat Kepulauan Natuna, membuat pengelompokan yang menyerupai blok aliansi seperti yang diupayakan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik, lanjut dia, maka retorika GSI-yang menekankan kedamaian, penghormatan kedaulatan, kesetiaan terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB, dan penolakan terhadap mentalitas perang dingin-akan tetap tinggal sebagai retorika yang sulit untuk memperoleh kepercayaan.

Halaman 2 dari 2
(dna/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads