Jakarta -
"Bangsa Indonesia harus tetap kritis dalam memandang China. Boleh memuji dan menghargai sukses pemerintah RRC dalam usahanya menjadikan negara dan bangsanya besar. Tetapi kritiklah hal-hal yang menurut kita tidak cocok, khususnya dengan aturan dalam pergaulan antar bangsa," kata pendiri sekaligus Ketua Dewan Penasihat Forum Sinologi Indonesia (FSI) A Dahana.
Pernyataan itu disampaikan Dahana dalam sambutan tertulisnya di sebuah acara diskusi berjudul "Menakar Ulang Soft Power China di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis," yang diselenggarakan FSI di Jakarta, 20 Mei 2023.
Diskusi tersebut menampilkan R Tuty N Mutia, pengajar senior pada Program Studi Cina Universitas Indonesia (UI), didampingi oleh Johanes Herlijanto, ketua FSI yang juga pengajar pada Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dahana menganggap bahwa melalui upaya meningkatkan Soft Power (soft power)nya di pelbagai negara, termasuk Indonesia, China sedang berusaha menjelma menjadi sebuah kekuatan imperial budaya.
Menurutnya, salah satu contoh dari alat Soft Power China adalah Confucius Institute (Institute Konfusius).
"Di Amerika Serikat, Institut Konfusius yang dibangun di berbagai universitas telah ditutup pada tahun 2021 karena dianggap sebagai misi asing Republik Rakyat China (RRC)," tuturnya.
Di Indonesia lembaga tersebut hadir dengan nama Pusat Bahasa Mandarin (PBM) dan telah didirikan di sekitar enam universitas di Indonesia. Dahana juga menyoroti pemberian beasiswa oleh China untuk studi di China sebagai bentuk lain dari Soft Power negeri itu.
"Upaya (pemberian beasiswa ke China) ini kelihatannya sangat berhasil. Setidaknya sebagian dari mereka-mereka yang kembali dari studi di China telah menjadi corong bagi pemerintah RRC tentang hebatnya China," jelas Dahana.
Dahana juga mengingatkan bahwa selain berupaya menanamkan Soft Power, China juga berupaya menjalankan kuasa keras (hard power).
Menurutnya, ini terlihat dari sepak terjang China di Laut Cina Selatan dan dari berbagai pelanggaran China terhadap hak berdaulat Indonesia yang berada di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) di perairan dekat kepulauan Natuna.
Sementara itu Johanes Herlijanto, menyoroti posisi komunitas Tionghoa dalam upaya China meningkatkan Soft Powernya di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa ada upaya RRC untuk merangkul komunitas Tionghoa untuk kepentingan peningkatan hubungan Indonesia dan China dengan mendorong mereka menjadi jembatan.
Mengutip tulisan Charlotte Setijadi, Johanes mengatakan bahwa setidaknya sebagian dari pebisnis Tionghoa, khususnya dari generasi senior, tidak berkeberatan menjalani peran sebagai jembatan bagi hubungan kedua negara.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Namun yang menarik, ketika China ingin merangkul Tionghoa Indonesia lebih dalam lagi, antara lain dengan menekankan hubungan khusus antara Tionghoa dan China, yang mengklaim sebagai negeri leluhur, sebagian komunitas Tionghoa justru melakukan penolakan.
"Seperti dicatat oleh Profesor Leo Suryadinata dalam berbagai tulisannya, beberapa pengusaha Tionghoa dan kaum muda Tionghoa menolak, bahkan mengkritisi upaya China mengingatkan mereka dalam hubungan antara mereka dengan China sebagai 'negeri leluhur'," tutur Johanes.
Inilah yang menyebabkan Johanes beranggapan bahwa upaya China menjadikan etnik Tionghoa sebagai bagian Soft Powernya akan sulit terwujud, mengingat di kalangan Tionghoa Indonesia, khususnya generasi muda, berkembang narasi yang mengedepankan keIndonesiaan mereka.
"Anak anak generasi sekarang lebih suka disebut sebagai Chinese Indonesian atau Chindo," tutur Johanes.
Pemerhati Tionghoa asal UPH itu juga merujuk pada keterlibatan Tionghoa dalam melestarikan sejarah dan budaya Indonesia, seperti keluarga Tionghoa yang justru menggunakan aset dan uangnya untuk membangun museum untuk melestarikan sejarah dan budaya kerajaan Jawa Mataram.
"Berakarnya tradisi lokal dan nasional Indonesia di kalangan Tionghoa membuat RRC kesulitan menjadikan Tionghoa sebagai bagian dari Soft Powernya," pungkasnya.
Peningkatan Soft Power China di Indonesia, menurut R. Tuty N Mutia, juga telah diupayakan antara lain melalui diplomasi publik dalam bidang budaya dan akademik, meningkatkan kerja sama dalam bidang akademik dan vaksin, dan memanfaatkan sejarah dengan mengungkapkan kembali memori kedekatan dua bangsa.
Namun menurut Tuty, ketiganya belum menunjukkan hasil yang positif bagi peningkatan citra China.
Masih menurut Tuty, China juga menggunakan beberapa strategi lainnya, antara lain, merangkul umat Islam melalui pemberian beasiswa untuk para santri. Menurutnya strategi ini tak dapat dilepaskan dari upaya China meredam isu Hak Asasi Manusia yang menimpa penduduk Muslim di Uyghur.
Sebagai hasil dari strategi ini, terdapat sebagian alumni China yang hampir selalu menyuarakan keunggulan China akhir akhir ini. Ini membuat Tuty terheran heran.
"Kenapa suara mereka selalu sama dan hanya mengangkat keunggulan China semata?" tutur Tuty.
Strategi lain yang diungkapkan Tuty adalah pendirian Institut Konfusius (PBM) yang dalam satu dasawarsa belakangan aktif memberikan beasiswa untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Namun dalam pandangannya, strategi ini kurang membuahkan hasil.
"Para siswa penerima beasiswa cenderung memanfaatkan PBM hanya untuk penguasaan bahasa agar menunjang studi atau karirnya," tutur Tuty.
Namun demikian, Tuty mengingatkan agar pemerintah Indonesia mengawasi persebaran dan aktivitas PBM mengingat kurangnya muatan berbasis budaya dan masyarakat Indonesia dalam pengajaran mereka.
"PMB seharusnya memperbanyak muatan lokal dalam materi ajar dan aktivitasnya, sehingga manfaat kehadirannya akan lebih bisa dirasakan," pungkasnya.