Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap pembiayaan dari utang yang dilakukan selama masa Pandemi COVID-19 berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Sri Mulyani juga menyebut, hal tersebut lebih baik dibandingkan negara lainnya.
Selama pandemi COVID-19, produk domestik bruto (PDB) naik menjadi US$ 276,1 miliar, sementara nominal utangnya US$ 206,5 miliar. Artinya, Sri Mulyani mengungkap US$ 1 utang yang dilakukan pemerintah menghasilkan US$ 1,34 untuk PDB.
"Indonesia, US$ 1 utang kenaikan GDP -nya US$ 1,34. Kenaikan GDP lebih besar dari kenaikan utang," jelasnya dalam rapat kerja dengan Banggar DPR RI, Selasa (30/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam paparan Sri Mulyani, nominal utang dan PDP negara-negara yang disebutkan merupakan akumulasi dari tahun 2018 sampai 2022, jadi termasuk di masa pandemi COVID-19.
Kondisi yang cukup baik juga dialami oleh Vietnam, di mana PDB-nya naik ke angka US$ 102 miliar dengan posisi utang yang dimiliki US$ 18,2 miliar.
"Ini adalah dua negara yang cukup exceptional (luar biasa) karena kenaikan dari government debt menyebabkan kenaikan GDP-nya lebih besar dari kenaikan debt-nya," jelasnya.
Sri Mulyani menyebut catatan kontribusi utang Indonesia dan Vietnam lebih baik dari negara lainnya, seperti India, Malaysia, Filipina, Thailand, Amerika Serikat, dan China. Sejumlah negara ini, pertumbuhan PDB tidak lebih besar dari nominal utang yang pemerintahnya lakukan saat itu.
"India kenaikan government debt-nya US$ 932,4 miliar hampir US$ 1 triliun, sementara kenaikan GDP US$ 683,5 miliar, artinya tentu India itu US$ 1 menghasilkan US$ 0,573 dari GDP," ujarnya.
Malaysia, kenaikan utangnya sebesar US$ 69,5 miliar, sementara PDB nominal hanya US$ 48,9 miliar. Kondisi yang sama juga dialami oleh Filipina, di mana utangnya naik US$ 103,6 miliar, tetapi PDB hanya naik US$ 57,4 miliar.
Kemudian, Amerika Serikat (AS) kenaikan utangnya yang mencapai US$ 8.925,8 miliar, sementara PDB-nya hanya naik US$ 4.931,4 miliar. Thailand utangnya US$ 86,1 miliar sementara PDB ekonomi US$ 29,6 miliar.
Terakhir, China utangnya saat itu naik US$ 6.114,6 miliar, tetapi PDB hanya tumbuh secara nominal US$ 4.258,2 miliar.
"Ini pelajaran bagi kita semua memang kenaikan GDP tidak hanya didukung utang karena tidak sustain, tapi Indonesia relatif cukup baik," tutupnya.
(ada/zlf)