Cerita Peternak Telur Rugi 2 Tahun Gegara Pakan Mahal, Nombok Rp 5 M

Aulia Damayanti - detikFinance
Sabtu, 03 Jun 2023 13:00 WIB
Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta -

Harga telur ayam saat ini telah mengalami kenaikan sampai lebih dari Rp 30.000 per kilogram (kg). Pemerintah menyebut, kenaikan itu dinilai wajar karena harga kebutuhan pakan ayam telah meningkat.

Kenaikan cukup membuat masyarakat terkejut, karena sebelumnya, harga telur ayam sempat di angka Rp 23.000 per kg di tahun lalu. Tetapi ternyata saat itu harga pakan ayam sudah naik dan imbasnya peternak merugi.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) Rofi Yasifun. Ia mengatakan selama dua tahun kemarin, tepatnya saat pandemi COVID-19, peternak telah mengalami kerugian karena harus menombok kebutuhan pakan yang sudah tinggi.

Di saat bersamaan permintaan memang tengah menurun karena perekonomian masyarakat juga anjlok gegara pandemi. Jadi, demi berlangsungnya bisnis dan kebutuhan masyarakat, mereka harus nombok Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar.

"Dari curhatan teman-teman dari populasi 100.000 ini mereka kehilangan atau menghabiskan aset ini lebih dari Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar dari 100.000 ayam. Itu menghabiskan tabungan, aset tanah, kemudian bila ada armada dijual. Banyak kandangnya dijual, kalau gak djual ya akhirnya dilelang perbankan akhirnya sudah habis kandangnya," kata Rofi kepada detikcom, ditulis Sabtu (3/6/2023).

Rofi menjelaskan, dua tahun belakangan ini harga pakan meningkat karena pengaruh dari perang Rusia dan Ukraina. Hal itu terjadi karena sebagian besar kebutuhan pakan ayam masih impor seperti Soyabean Meal SBM dan Meat bone meal (MBM).

"Harga SBM Rp 6.500 sampai Rp 7.500 saja sudah mahal. Sampai hari ini sudah Rp 9.500 sampai Rp 11.000, naiknya sudah di atas 30%. MBM juga sudah tinggi sekali," ungkapnya.

Selain itu, harga jagung juga terus mengalami peningkatan, di mana jagung sendiri berkontribusi sebesar 40% sampai 55% pada pakan ayam. Saat harga pakan ayam naik, tetapi saat pandemi daya beli turun. Peternak pun mau tidak mau tetap harus menjual hasil telurnya, tetapi dengan harga yang murah.

"Makanya terjadi pengurangan populasi sampai masing-masing orang kan mempunyai kekuatan finansial yang berbeda-beda sehingga ada yg habis ayamnya itu pun utangnya masih numpuk belum terbayar, ada yang tinggal 30% ada yang masih di atas 50% sampai 90% tetapi asetnya habis, tabungan, deposito, jual aset, untuk menutup itu," jelasnya.

Rofi mengatakan kerugian tersebut berlangsung selama 2 tahun, satu peternak harus menombok Rp 40 juta per lima ton yang dijual ke pedagang. Makanya saat pandemi harga telur sempat di level Rp 21.000 sampai Rp 23.000/kg.

"Ini konsumen tidak terasa disubsidi oleh peternak, padahal waktu itu harga telur itu harusnya sampai Rp 28.000, biar harganya bisa menutup (peternak nombok)," ungkapnya.

Saat ini setelah perekonomian pulih, peternak menilai kondisi ini bisa menjadi saat yang tepat untuk memulihkan kembali peternakannya. Di saat bersamaan, konsumen terkejut karena harga telur ayam melonjak k angka Rp 30.000 sampai Rp 32.000.

"Itu harga wajar sesuai dengan biaya produksi (yang dikeluarkan oleh peternak). Saat ini kondisi peternak mulai replacement kembali, karena ada keuntungan di atas 3% sampai 5%," tuturnya.

Meski sudah mulai melakukan pemulihan kembali, peternak yang sempat bangkrut tetap harus memenuhi kewajiban utangnya. Kondisi ini, kata Rofi tidak hanya terjadi pada peternak kelas UMKM, tetapi juga kelas pengusaha besar.

"Nggak usah jauh-jauh belakang rumah saya sudah habis gulung tikar, satu RW saya puluhan yang macet di perbankan, siap di lelang puluhan, populasinya tinggal antar 10%-54% dan sebagian ini sudah habis,"tutupnya.




(ada/fdl)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork