KPK meningkatkan pengawasan terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi penyelenggara negara yang menduduki instansi strategis. Beberapa di antaranya adalah pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Aparat Penegak Hukum.
Alasannya, ketiga instansi itu cukup rawan karena strategis, khususnya dalam penggunaan kewenangan.
"Pimpinan sudah meminta agar dilakukan pemetaan terhadap LHKPN, terutama para penyelenggara negara yang menduduki instansi strategis, antara lain Pajak, Bea Cukai, dan Aparat Penegak Hukum, entah itu jaksa, polisi, hakim," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers yang disiarkan virtual, dikutip Sabtu (8/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki kekayaan tidak wajar harusnya bisa terpantau oleh atasan, atau rekan kerja. Jumlah harta yang tidak wajar menjadi salah satu indikasi praktik korupsi.
"Seorang pegawai yang secara normatif itu tidak mungkin bisa menghimpun kekayaan sedemikian besar, dan kami meyakini tidak mungkin rekan sejawat, atasan atau pimpinannya tidak tahu," ujarnya.
"Jadi salah satu 'red flag' terjadinya suatu kecurangan atau korupsi misalnya bisa dilihat dari gaya hidup. Bagaimana dia pola konsumsinya. Kalau seorang ASN atau penyelenggara negara mampu membeli rumah Rp 20 miliar, tentu jadi pertanyaan besar, dari mana yang bersangkutan mendapatkan penghasilan untuk membeli rumah sebesar itu," lanjutnya.
Sebagai informasi, Andhi diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 28 miliar. Uang hasil gratifikasi salah satunya dibelikan rumah seharga Rp 20 miliar di Pejaten, Jakarta Selatan.
Marawata menerangkan, perlu pembuktian dari mana jumlah harta jumbo yang dimiliki penyelenggara negara. Misalnya, apakah yang bersangkutan memiki usaha lain atau tidak.
"Apakah yang bersangkutan punya kegiatan usaha lain, itu yang harus dibuktikan," pungkasnya.
(hns/hns)