Live shopping kini menjadi salah satu cara untuk para pedagang yang ingin meningkatkan penjualan di platform media sosial. Dengan live shopping ini akan memberikan pengalaman berbeda untuk para calon pembeli.
Pasalnya, pembeli bisa melihat persiapan pedagang sampai bisa melihat langsung barang yang dijual. Apakah konsep live shopping ini benar-benar menguntungkan untuk para pedagang?
Andre Irawan, pemilik Irawan Chips toko keripik pisang memang mayoritas menjual produknya dari live shopping. Sangat berbeda jumlah penjualan jika sedang tidak live.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dagangan kita itu aktif saat live shopping. Minimal ada 20 orderan, pernah satu hari itu 80 orderan. Kalau tidak live itu paling cuma 5-7 orderan saja," kata dia kepada detikcom, ditulis Minggu (15/8/2023).
Dia mengungkapkan, dalam live shopping ini ada waktu-waktu tertentu setiap harinya. Live shopping juga harus dilakukan secara konsisten. "Saya pasti dijadwalkan untuk live, sebelumnya kita meraba dulu di mana nih waktu yang efektif. Akhirnya kita nemu, banyak penonton itu waktu kita lagi kupas pisang jam 9-12 siang, jadi saya live siang dan sore," jelas dia.
Menurutnya, dalam saat live itu harus punya kegiatan yang berbeda dan kreatif. Sebelum dia lebih kreatif, penonton hanya sekitar 5-10 orang saja. Padahal penjelasan produk sudah diberikan berulang-ulang. Tapi cara itu tidak membuat orang betah untuk nonton dan akhirnya membeli.
Saat aktif live, Irawan Chips sempat mencetak rekor penjualan 200 paket dalam satu hari. Sampai akhirnya dia menghentikan penjualan pada hari tersebut karena kapasitas produksi yang belum terlalu besar.
Salah satunya adalah Restia yang memiliki toko online Rumah Tissue. Di Rumah Tissue, dia menjual berbagai tempat tissue dengan beragam bentuk. Harganya tentu bervariasi, sesuai ukuran dan motif yang ada. Sebelum masuk ke live shopping, Restia dan tim penjualannya sudah memiliki akun di sebuah e-commerce. Dia menyebutkan, penjualan melalui e-commerce ini sudah bisa memenuhi target bulanannya.
Tapi dia memutuskan untuk masuk ke TikTok sebagai sarana branding dan pencarian target pasar baru Rumah Tissue. Setiap harinya dia juga melakukan live shopping beberapa jam. Tapi memang, karena Rumah Tissue masih baru, penonton live nya belum terlalu banyak.
Justru orang-orang checkout di akun TikTok Rumah Tissue di jam-jam setelah live. "Ini yang terus kami pelajari, customer maunya yang seperti apa. Live shopping ini kami masuk karena trennya sudah seperti itu dan algoritma jika live akan lebih bagus. Kami juga ingin membawa produk kami ke market live dan siapa tahu ada target market baru," kata dia kepada.
Dia mengungkapkan target pasar yang dimiliki Rumah Tissue saat ini adalah ibu-ibu muda dan generasi milenial. Dia mengharapkan bisa terjaring target baru seperti gen z atau mahasiswa yang aktif menggunakan TikTok.
Dalam membuka live shopping, ada beberapa hal yang disiapkan oleh Restia dan tim Rumah Tissue seperti handphone untuk live, lampu seperti righ light dan light box untuk pencahayaan saat live berlangsung. Lalu background live, dia menyarankan agar background bisa ganti setiap hari supaya penonton tidak bosan.
Peneliti INDEF Nailul Huda mengungkapkan saat ini penjualan online masih banyak dilakukan melalui aplikasi pesan instan, media sosial, marketplace dan website. "Artinya, penjualan di media sosial lebih besar, namun tidak tercatat secara resmi karena di luar sistem yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini karena rendahnya biaya admin dan tak adanya pajak jika bertransaksi visa media sosial. Makanya banyak yang jualan di IG, FB dan TikTok," jelas dia.
Menurut dia teknologi baru ini bisa membuat model penjualan secara daring makin menjanjikan.
(kil/kil)