Raksasa fesyen H&M akan menghentikan seluruh operasi perusahaan di Myanmar. Hal ini diputuskan perusahaan menyusul banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tenaga kerja di pabrik-pabrik garmen di negara tersebut.
Melansir dari CNN, Sabtu (19/8/2023), kasus pelanggaran hak asasi manusia dan tenaga kerja di negara itu kian meningkat sejak terjadinya kudeta militer pada Februari 2021. Pelanggaran yang banyak terjadi mulai dari pemotongan atau pencurian upah, kekerasan fisik dan verbal, hingga pelecehan secara seksual.
"Kami memantau perkembangan terbaru di Myanmar dengan sangat cermat dan kami melihat adanya tantangan yang terus meningkat untuk melakukan operasi kami (di negara itu) sesuai dengan standar dan persyaratan kami," kata juru bicara perusahaan kepada CNN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat kondisi ini H&M pun memutuskan untuk 'cabut' dari negara itu. Adapun perusahaan mengaku penghentian operasional ini akan dilakukan secara bertahap.
"Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati, kami sekarang telah mengambil keputusan untuk secara bertahap menghentikan operasi kami di Myanmar," jelasnya lagi.
Hal ini tentu akan sangat berdampak terhadap masyarakat Myanmar mengingat H&M diperkirakan telah mempekerjakan 42.000 buruh dari 41 pabrik. Namun semua pabrik ini tidak dimiliki langsung oleh perusahaan, namun outsourcing alias kerjasama produksi.
Sebagai tambahan informasi, H&M bukanlah perusahaan pertama yang memutuskan untuk meninggalkan Myanmar karena masalah HAM dan tenaga kerja. Sebelumnya ada sejumlah perusahaan global seperti Nestlé, TotalEnergies, dan Chevron yang sudah lebih dulu angkat kaki dari negara itu.
Kemudian di industri garmen, ada perusahaan Inditex, Marks & Spencer, dan Primark telah membuat keputusan untuk menghentikan operasi mereka di Myanmar. Akibatnya sudah banyak pekerja yang harus dirumahkan atau terkena PHK karena penutupan pabrik.
(eds/eds)