KPPU Dalami Dugaan Predatory Pricing di TikTok

KPPU Dalami Dugaan Predatory Pricing di TikTok

Samuel Gading - detikFinance
Selasa, 05 Sep 2023 13:47 WIB
JAPAN - 2022/12/14: In this photo illustration, a TikTok App Logo is displayed on a mobile phone. (Photo Illustration by Stanislav Kogiku/SOPA Images/LightRocket via Getty Images)
Foto: Stanislav Kogiku/SOPA Images/LightRocket/Getty Images
Jakarta -

Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) buka suara terkait adanya dugaan predatory pricing atau aktivitas penjualan barang di bawah harga modal yang dilakukan oleh TikTok.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan pihaknya belum menempuh upaya penegakan hukum terhadap dugaan permainan harga yang dilakukan TikTok.

"Kami akan mendalami terlebih dahulu, permasalahan yang ada. Khususnya apakah ini isu persaingan usaha sebagaimana UU 5/1999 atau isu lain seperti kebijakan pemerintah atas pengaturan sektor digital atau kebijakan impor barang atau perlindungan atas konsumen yang lemah," kata dia saat dihubungi detikcom, Selasa (5/9/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mengungkapkan, untuk menentukan predatory pricing akan ditelusuri berbagai aspek. Menurutnya, tidak semua harga yang sangat rendah itu dapat dikategorikan sebagai predatory pricing.

"Kami masih melakukan pendalaman secara mandiri, jadi belum ada upaya penegakan hukum seperti penyelidikan atau pemeriksaan. Jika publik atau ada penjual di platform yang merasa dirugikan oleh platform, dipersilakan mengkonsultasikan atau menyampaikan informasi tersebut ke KPPU," ujar dia.

ADVERTISEMENT

Dia menjelaskan berdasarkan pasal 20 UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-Undang Anti Monopoli), Deswin pun menjelaskan definisi predatory pricing.

Predatory pricing terjadi ketika penjual memperdagangkan produk atau jasa dengan harga sangat rendah untuk menyingkirkan atau mematikan usaha kompetitor.

Namun, dalam aspek penegakan hukum, ada sejumlah hal yang perlu dibuktikan untuk mengatakan sesuatu itu predatory pricing.

Di antaranya; kebenaran sebuah produk dijual secara rugi, bukti bahwa produk menggunakan harga di bawah biaya produksi, bukti harga sengaja ditetapkan untuk menyingkirkan pesaing, adanya korban terhadap tindak tersebut, serta kehadiran market atau pasar yang berdekatan.

Dalam konteks dugaan predatory pricing TikTok, Deswin pun mengatakan ada dua garis batas yang perlu ditarik. Kedua garis tersebut terpaku pada siapa pihak yang dipersoalkan.

"Apakah platform atau penjual di dalam platform? Jika platform, maka pasar yang kita bicarakan adalah pasar platform. Kalau penjual, maka pasar yang kita bicarakan adalah pasar penjual seperti penjual pakaian atau elektronik," ungkapnya.

Kendati demikian, Deswin menganalisis bahwa umumnya,predatory pricing dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar besar.

Sebab, akan sulit untuk menyingkirkan kompetitor jika pelaku tidak siap rugi dalam periode yang begitu lama.
"Jadi predatory pricing memang cukup kompleks," jelasnya.

"Kasus yang pernah KPPU putus terkait predatory pricing ini adalah perkara yang melibatkan perusahaan semen CONCH di Kalimantan Selatan yang dikeluarkan KPPU pada awal tahun 2021 lalu," jelas dia.

Oleh sebab itu, ia menjelaskan bahwa KPPU akan terlebih dahulu memetakan persoalan yang ada. Khususnya memastikan bahwa isu tersebut memang melanggar UU 5/1999 tentang persaingan usaha.

"Tidak semua harga yang sangat rendah dapat dikategorikan sebagai predatory pricing. Jika publik atau ada penjual di platform yang merasa dirugikan oleh platform, dipersilakan mengkonsultasikan atau menyampaikan informasi tersebut ke KPPU," ujar dia.

Sebelumnya diberitakan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut ada dugaan predatory pricing pada platform tersebut.

"Coba lihat TikTok kan janji untuk tidak melakukan predatory pricing, tapi saya lihat tadi di online, parfum Rp 100, celana pendek Rp 2.000, itu HPP-nya aja ongkos produksinya di dalam negeri sudah pasti di atas Rp 5.000. Jadi belum ada perubahan dari TikTok," ujarnya.

Teten mengatakan, sulit mendeteksi asal produk tersebut apalagi bila yang menjualnya justru seller-seller lokal Tanah Air. Ia mencurigai ada yang salah dengan bea masuknya sehingga produk impor ini masih bisa dijual dengan harga murah

"Pas begitu impor biasa masuk dulu barangnya ke dalam negeri baru jualan di sini. Berarti saya melihat ini ada yang keliru dari bea masuknya," kata Teten di Kemenkop (14/8).

Pemerintah akan mengatur socio commerce, bagaimana implementasinya? Klik halaman berikutnya

Lihat juga Video: Viral Seleb TikTok Probolinggo Ngamuk ke Siswi Magang Swalayan

[Gambas:Video 20detik]



Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) kembali menegaskan telah mengusulkan agar media sosial yang merangkap menjadi e-commerce harus punya izin sendiri. Selain itu, ia juga menegaskan kalau dalam draft revisi Peremendag No. 50 Tahun 2020 e-comerce atau socio comerce dilarang untuk merangkap menjadi produsen barang dagang.

"Saya sudah mengusulkan aturan sosial media yang merangkap e-commerce harus ada izin tersendiri, harus izin lagi," ujar Zulhas dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (4/9/2023).

Zulhas yang juga Ketua Umum PAN tersebut turut menyoroti project S TikTok, yang menurutnya kalau tidak diatur akan membuat collapse e-commerce lain dan mengancam UMKM lokal kita. Ia menyebut telah berkomunikasi dengan Menkop UKM Teten Masduki untuk mengatur platform social commerce seperti TikTok.

"Tiktok itu socio commerce. Keuangan, perdagangan, sosial media, waduh jadi satu. Itu kalau nggak diatur collapse. Oleh karena itu, kita tata. Melalui saya punya instrumen Permendag," ujar Zulhas.

"Saya usul ke Pak Teten gimana kalau kita larang saja. Wah iya juga yah larang-larang (sekarang) nggak boleh, kita bisa masuk WTO. Ngatur bisa. Jadi kita (akan) atur," imbuh Zulhas.

Ia menegaskan telah mengusulkan aturan media sosial yang ingin menjadi e-commerce harus memiliki izin yang dagang dan bukan hanya izin media sosial. Lalu e-commerce juga tidak bisa menjadi produsen kecuali sudah ada izinnya.

detikcom telah menghubungi Head Communication TikTok Indonesia Anggini Setiawan untuk meminta tanggapan terkait dugaan predatory pricing dan Menkop yang meminta KPPU untuk menyelidiki. Tapi hingga berita ini ditayangkan, yang bersangkutan belum memberikan jawaban.


Hide Ads