Pentingnya Pengawasan DPR untuk Jaga Iklim Usaha Digital & Konvensional

Pentingnya Pengawasan DPR untuk Jaga Iklim Usaha Digital & Konvensional

Inkana Izatifiqa R Putri - detikFinance
Jumat, 29 Sep 2023 15:32 WIB
Anthony Leong
Foto: Istimewa
Jakarta -

Pakar Digital Anthony Leong menilai kolaborasi pemerintah dan DPR dalam melahirkan kebijakan soal larangan TikTok Shop Cs sudah sangat tepat. Menurutnya, aturan baru itu dianggap sebagai bukti lembaga legislatif dan eksekutif menjunjung tinggi setiap aduan masyarakat.

Anthony menyampaikan dukungan DPR RI terhadap kebijakan larangan berjualan di media sosial, salah satunya TikTok merupakan bentuk dukungan agar terciptanya keadilan berusaha bagi seluruh pedagang.

"DPR dan pemerintah cepat tanggap menghadapi problematika yang ada di masyarakat. Tentunya kolaborasi ini sangat baik karena kita perlu menjaga ekosistem usaha yang baik, bagaimana keseimbangan dunia online dan offline," kata Anthony dalam keterangannya, Jumat (29/9/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti diketahui, larangan praktik social commerce di mana media sosial dan e-commerce (perdagangan elektronik) harus dipisahkan lahir seiring terbitnya Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha. Kebijakan ini menjadi respons atas sepinya pasar-pasar konvensional karena perdagangan digital di social commerce yang menawarkan harga sangat murah.

Kegelisahan pedagang konvensional tersebut pun banyak disuarakan oleh DPR. Untuk itu, Anthony mengapresiasi dukungan DPR sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan demi membantu pedagang di pasar-pasar konvensional.

ADVERTISEMENT

"Suara-suara dari DPR sudah ada sejak isu ini belum terlalu menjadi sorotan. Jadi desakan dari DPR sangat berperan atas lahirnya kebijakan dari pemerintah agar ada keberimbangan perdagangan di ranah digital dan konvensional," sebutnya.

Wakil Sekretaris Jenderal BPP HIPMI ini menambahkan, praktik social commerce seperti TikTok Shop telah mendominasi perdagangan di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut mempengaruhi keseimbangan perdagangan.

"Bagaimana juga aplikasi yang ada di luar negeri seperti TikTok Shop sangat mendominasi sekarang dan melangkahi batas-batas kewajaran harga. Tentunya mereka juga bisa menguasai kita dalam bentuk algoritma, dalam bentuk behaviour dan sebagainya," jelas Anthony.

Ia menilai langkah antisipasi dari DPR dan pemerintah terkait larangan TikTok Shop bertransaksi jual beli sangat tepat untuk melindungi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan pedagang di pasar-pasar konvensional. Sebab, jika tidak ada intervensi, praktik social commerce dapat mematikan pasar konvensional.

"Tentu ini bentuk antisipasi juga dalam rangka upaya penyelamatan UMKM di Indonesia. Dan kita memang harus tegas terhadap aplikasi dari luar seperti Tiktok yang menguasai market kita dengan sangat luar biasa ini," jelasnya.

CEO Menara Digital ini pun menjelaskan saat ini sudah banyak pasar konvensional di Indonesia yang mulai ditinggalkan pelanggannya. Hal ini karena perkembangan industri teknologi digital yang merambah ke praktik jual beli.

"Tak hanya membantu perlindungan terhadap UMKM, peraturan yang baru diterbitkan juga memastikan terdapat pemisah antara media sosial dan e-commerce sehingga tidak dimonopoli satu platform," ungkap Anthony.

Seperti diketahui, melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023, pemerintah melarang media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan Twitter digunakan untuk berjualan. Platform media sosial kini hanya boleh digunakan dalam memfasilitasi promosi, bukan untuk tempat transaksi jual beli.

Jika tetap melakukan transaksi jual beli, platform medsos tersebut akan dikenakan sanksi, bahkan ancamannya sampai penutupan platform media sosial. Aturan tersebut sebagai upaya untuk mengatur lebih tegas usaha di lini digital agar tidak mematikan pelaku UMKM dalam negeri yang masih menjajakan dagangannya melalui cara konvensional.

Klik halaman selanjutnya >>

Menyikapi hal ini, Anthony mengatakan kebijakan baru terkait praktik social commerce ini dapat menjadi penghalang bentuk-bentuk monopoli platform media sosial yang merambah dunia e-commerce. Terutama bagi TikTok Shop yang juga dikeluhkan pelaku usaha digital dari platform khusus perdagangan elektronik.

"Kebijakan ini menjadi benteng terhadap potensi TikTok menggunakan algoritma penggunanya yang dimanfaatkan sebagai langkah predatory pricing sehingga lebih mampu melindungi pelaku usaha UMKM yang menjual produk serupa di e-commerce," ucapnya.

Meski demikian, Anthony berharap pemerintah dapat menciptakan regulasi turunan yang dapat menyeimbangkan antara pelaku usaha online dan konvensional. Hal ini sejalan dengan pesan yang disampaikan DPR.

Anthony juga mendorong pemerintah untuk membuatkan platform khusus bagi para pelaku UMKM lokal. Dengan demikian, produk UMKM Indonesia tidak kalah saing dengan produk-produk luar negeri.

"Seperti yang diingatkan DPR, Pemerintah harus bisa meng-create suatu regulasi dalam melindungi UMKM kita ke depan. Misalnya dengan mengedepankan aplikasi yang berfokus pada produk lokal Indonesia. Jadi kita bisa menyaingi aplikasi-aplikasi luar," imbaunya.

"Market kita besar, jadi harus ada regulasi yang mendukung, yang berpihak untuk produsen dan konsumen di dalam negeri. Sehingga devisa tidak keluar," tambah Anthony.

Keluhan Konten Kreator Pasca Permendag Nomor 31 Tahun 2023 Terbit

Terkait keluhan dari konten kreator pasca dikeluarkannya Permendag Nomor 31 Tahun 2023, Anthony menilai aturan baru itu sebenarnya tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku endorse.

Pasalnya, para konten kreator masih bisa membuat promosi jualan di media sosial yang diarahkan untuk membeli barang yang dipromosikan melalui platform e-commerce atau toko konvensional.

"Karena mereka tetap bisa mempromosikan produk-produk yang mereka endorse sehingga tak akan menghilangkan mata pencaharian para kreator sehingga iklim ekonomi digital tetap terjaga dengan baik," jelas Anthony.

Di sisi lain, Anthony berharap DPR terus memperkuat perannya dalam mengawal aturan baru tersebut.

"Sebagai wakil rakyat, DPR bisa memberikan masukan pendukung akan regulasi yang inklusif ini dengan menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara pelaku usaha konvensional dan digital," tuturnya.

"Pengawasan dari DPR penting demi terciptanya iklim usaha yang sehat, khususnya pada penerapan aturan baru ini. Pengawalan dari DPR dapat membantu hadirnya keadilan bagi pelaku usaha digital dan konvensional," sambungnya.

Anthony juga meminta DPR untuk mendorong pemerintah agar memperhatikan konsumen yang tidak dapat membeli barang secara langsung karena domisili di tempat terpencil.

"Maka memang solusi digital dapat membantu menciptakan akses yang lebih luas ke berbagai produk, sehingga mendukung perekonomian di daerah-daerah terpencil," sebutnya.

Selain itu, ia berharap baik DPR maupun pemerintah dapat mempertimbangkan berbagai perspektif lain dalam merumuskan regulasi yang akan datang. Dengan begitu perkembangan dunia usaha di Indonesia dapat sehat dan terus mengalami kemajuan.

"Dalam mengembangkan regulasi, tidak hanya melihat dari segi ukuran usaha tetapi juga berdasarkan risiko dan dampak yang dihasilkan. Ini akan membantu mendorong inovasi dan daya saing yang seimbang antara berbagai jenis usaha," urai Anthony.

Pemerintah Diharap Hadirkan Win-win Solution

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani telah menyoroti aturan baru yang dikeluarkan pemerintah terkait praktik social commerce. Ia pun mendukung sepenuhnya larangan berjualan bagi media sosial.

"DPR berharap aturan baru yang dikeluarkan terkait usaha di media sosial dapat menciptakan keseimbangan antara pasar digital dan konvensional. Dengan regulasi yang cermat dan tepat, Pemerintah harus memastikan perkembangan ekonomi di Indonesia tetap adil dan berkelanjutan," kata Puan.

Meski demikian, Puan menilai diperlukan strategi lanjutan untuk menciptakan keadilan antara pelaku usaha digital dan konvensional.

"Setelah membuat regulasinya, saatnya Pemerintah menciptakan strategi lanjutan yang tetap menjunjung keadilan bagi seluruh pelaku usaha. Jangan sampai aturan yang baru malah menjadi boomerang bagi Negara untuk mencapai target era ekonomi digital," ungkap mantan Menko PMK itu.

Seperti diketahui, data TikTok Indonesia mencatat ada sekitar 6 juta pelaku usaha lokal yang menggantungkan usahanya melalui jasa social commerce. Sedangkan, ada sekitar 7 juta creator affiliate yang menggunakan platform Tiktok Shop.

Melihat hal ini, Puan berharap pemerintah dapat menghadirkan regulasi yang win win solution dan berpihak untuk semua pihak. Hal ini mengingat pesatnya perkembangan teknologi sangat berpengaruh pada industri perdagangan.

"Maka harus diimbangi dengan regulasi yang tepat. Sehingga ke depannya Indonesia bisa ambil bagian dalam perkembangan era ekonomi digital," jelasnya.

Senada dengan Puan, Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade mengingatkan agar aturan baru terkait praktik social commerce dapat menciptakan perilaku adil bagi pelaku usaha konvensional dan digital.

"Banyak pelaku UMKM mengandalkan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya untuk mempromosikan produk dan layanan mereka, serta menjalankan transaksi secara online. Ini juga harus dipikirkan seperti apa teknis terbaik dalam proses kelanjutan transaksi jual belinya antara seller dan buyer jika hanya promosi saja yang diperbolehkan," papar Andre.

Ia pun berharap hadirnya aturan turunan dari Permendag Nomor 31 Tahun 2023 nantinya dapat membatasi aktivitas social commerce yang banyak dikeluhkan pedagang konvensional.

"Dengan larangan berjualan dan bertransaksi, pengusaha akan lebih fokus pada kegiatan promosi. Ini dapat membantu mereka meningkatkan visibilitas dan kesadaran merek mereka di media sosial," ungkapnya.

"Selain itu dalam beberapa kasus, pengusaha dapat menghindari persaingan harga yang sering terjadi di media sosial. Mereka juga dapat lebih fokus pada nilai tambah produk atau layanan mereka daripada hanya menawarkan harga yang lebih rendah," tutupnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Gestur Tak Senonoh Anggota DPR saat Live TikTok Berujung Sidang MKD"
[Gambas:Video 20detik]
(ncm/ega)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads