Konflik proyek Rempang Eco-City yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, adalah salah satu persoalan yang saat ini ramai diperbincangkan masyarakat.
Persoalan itu seperti segumpal benang kusut yang rumit. Berawal dari status tanah, persoalan berujung pada kerusuhan antara aparat penegak hukum dan masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan tersebut.
Berikut adalah fakta-faktanya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Baku Hantam di Lapangan
Mata publik awalnya tertuju ke Pulau Rempang pada Kamis 7 September 2023. terjadi kericuhan antara warga Rempang dengan aparat penegak hukum gabungan TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset Badan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).
Ratusan warga dari 16 kampung tua Pulau Rempang yang terhimpun dalam satu barisan baku hantam dengan aparat keamanan di lapangan. Situasi sangat kacau, berdasarkan catatan detikcom, tembakan dari air gas air mata sampai masuk ke dalam satu sekolah yang berdekatan lokasi kerusuhan.
Warga bertujuan memblokade jalan agar tim gabungan tidak masuk ke wilayah mereka untuk mengukur lahan dan memasang patok untuk proyek Rempang Eco-City. Aksi terus berlanjut hingga Senin (11/9/2023) hingga Selasa (12/9/2023). Berdasarkan catatan detikcom, aparat mengamankan setidaknya 43 demonstran imbas kejadian tersebut.
2. Warga Awalnya Tolak Solusi BP Batam
BP Batam awalnya sudah menjanjikan beberapa solusi. Di antaranya relokasi bagi masyarakat terdampak ke kawasan Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang. Serta hunian tetap berupa rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.
Namun Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), mengatakan warga menolak relokasi kampung karena sudah lama mendiami tempat tersebut.
Pada Rabu (12/9/2023), Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro, pun meminta agar pemerintah melakukan pendekatan humanis untuk menyelesaikan sengketa agraria tersebut.
3. Gara-Gara Status Lahan
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md lantas menjelaskan bahwa konflik antara warga dan aparat terjadi lantaran terjadi kekeliruan antara pemerintah pusat dan daerah soal pencatatan hak atas berbagai tanah yang bakal menjadi lokasi pembangunan Rempang Eco-City.
Mahfud mengatakan, bahwa surat keputusan (SK) tentang hak guna usaha (HGU) sudah dikeluarkan sejak 2001. Namun, ia menyebut kekeliruan terjadi ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena menerbitkan izin penggunaan tanah kepada pihak yang berhak.
Persoalan berikutnya muncul ketika pemegang HGU ternyata tidak pernah melihat maupun menggarap izin yang diperoleh. Alhasil dalam perjalanannya, hak atas lahan pun terbit kepada penduduk desa. Hal inilah yang menjadi landasan utama masyarakat untuk bersikukuh atas lahan yang mereka huni sampai saat ini.
Mahfud menjelaskan semua itu terjadi pada 2004. Penduduk merasa mempunyai hak sah untuk tinggal di lokasi tersebut yang ditegaskan dalam bentuk keputusan pemerintah. Namun di sisi lain ada pula izin HGU yang telah diberikan sejak 2001 agar Pulau Rempang dimanfaatkan sebagai lokasi Rempang Eco-City.
"Padahal SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah," imbuh Mahfud
4. Solusi Pemerintah
Pemerintah pun saat ini menghadirkan solusi bagi warga Pulau Rempang. Pada Senin (25/9/2023), Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa usai rapat bersama Presiden Joko Widodo, pemerintah memutuskan merelokasi warga ke Tanjung Banun yang lokasinya tidak lebih dari 3 kilometer dari Pulau Rempang.
Bahlil merincikan, saat ini terdapat lima kampung yang terdampak proyek Rempang Eco-City tersebut. Kelimanya adalah Kampung Blongkek, Pasir Panjang, Simpulan Tanjung, Simpulan Hulu, dan Pasir Merah.
Ia menjamin, bahwa Tanjung Banun akan menjadi kampung percontohan yang tertata betul. Akan ada infrastruktur jalan, Puskesmas, air bersih, sekolah, dan pelabuhan perikanan untuk masyarakat yang direlokasi.
Selain itu Masyarakat akan diberikan penghargaan terhadap status lahan. Bahlil mengatakan, pemerintah akan memberikan alas hak 500 meter persegi dengan sertifikat hak milik. Selama masa tunggu, masyarakat juga diberi uang senilai Rp 1,2 juta per orang setiap bulannya, serta dengan uang kontrak rumah Rp 1,2 juta per kepala keluarga (KK).
"Kemudian rumah kita kasih tipe 45. Apabila ada rumah yang tidak tipe 45, dengan harga lebih dari 120 juta, itu akan dinilai KJPP nilainya berapa. Itu yang akan diberikan," jelasnya.
(eds/eds)