Lika-liku Hidup di Gang Venus yang Padat Penduduk

Lika-liku Hidup di Gang Venus yang Padat Penduduk

Samuel Gading - detikFinance
Selasa, 03 Okt 2023 08:00 WIB
Gang Venus Tambora
Foto: detikcom/Samuel Gading
Jakarta -

Kenyamanan adalah faktor yang harus disingkirkan warga Gang Venus, yang terletak Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Selain panas, mereka kini hidup berdempet-dempetan dalam satu rumah. Tak heran, wilayah tersebut konon dijuluki sebagai 'kawasan terpadat di Asia Tenggara'.

Berikut adalah fakta-faktanya:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Satu Rumah 8 Orang

Kepada detikcom, sejumlah warga berkisah mengaku hidup dengan kondisi sesak di Gang Venus.

ADVERTISEMENT

Warga pertama adalah keluarga besar Marpuah, 89 tahun, warga RT 002. Mutia, 53 tahun, menantu Marpuah, mengatakan dia tinggal bersama puluhan anggota keluarganya. Ada satu rumah pribadi dan dua rumah yang dikontrakkan di wilayah itu.

Rumah pertama dihuni setidaknya delapan orang yang terdiri dari anak dan cucu. Ukurannya 3x4 meter. Kontrakan kedua dan ketiga memiliki luas serupa. Mayoritas pekerjaan di keluarga besarnya itu adalah tukang bor sumur dan berjualan makanan.

Keluarga kedua yang ditemui detikcom adalah Fatimah, 41 tahun, warga RT 013. Di kontrakan yang juga berukuran 3x4 meter, ia tinggal berenam bersama suami dan empat orang anaknya.

Adapun keluarga ketiga, adalah Euis, warga RT 002 RW 003. Ia tinggal berenam di kontrakannya yang berukuran 2 meter.

2. Tak Mau Pindah, Sampai Tolak KPR.

Kendati hidup dalam kesesakan, berbagai keluarga yang hidup di Gang Venus itu ternyata tidak mau pindah.

Euis, yang sejak 1980-an sudah tinggal di Gang Venus, mengaku sudah keburu nyaman di kawasan itu. Saking nyamannya, ia sampai menolak tawaran suaminya untuk mengambil program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Bekasi.

Menurutnya, lebih baik tinggal di Gang Venus daripada tinggal pinggir jalan. "Banyak yang tanya kenapa, sih, mau tinggal di kawasan seramai ini ? Ya, karena kami nyaman. Anak kalau mau ke sekolah ke Grogol dekat, tinggal naik motor. Sama pengontrak di sini kita juga sudah kayak saudara," beber Euis.

Kampung Venus merupakan salah satu permukiman terpadat di Tambora, Jakarta Barat. Di permukiman padat tersebut banyak gang atau jalan sempit layaknya labirin.Kampung Venus merupakan salah satu permukiman terpadat di Tambora, Jakarta Barat. Di permukiman padat tersebut banyak gang atau jalan sempit layaknya labirin. Foto: Rifkianto Nugroho

3. Tak Segelap Dulu Lagi

Ketua RT 002 RW 003 Gang Venus Mokhamad Ikhsan, mengatakan memang banyak penduduk Gang Venus yang tinggal berdempet-dempetan dalam satu rumah. Di wilayahnya terdapat sekitar 350 keluarga.

Namun, Haji Ikhsan mengatakan Gang Venus tidak sepadat dan semuram itu lagi. Sebab dulu, Gang Venus terkenal tidak tersentuh cahaya matahari. Hal ini disebabkan atap bangunan semi-permanen di kawasan itu saling bersentuhan.

Semua ini berubah sejak api melahap kawasan tersebut pada 2020. Sebanyak 105 ditelan si jago merah. Karena bantuan pemerintah pula, semua bangunan di Gang Venus pun kini berjenis permanen.

Sejak 1980-an, ia mengatakan kawasan itu ramai dipadati perantau. Khususnya dari Banten, Jawa Barat.

"Banyak perantau yang tidak kembali ke sini.l setelah kebakaran. Yang semula tidak disentuh cahaya sudah terang kembali," jelas dia.

4. Fenomena Urbanisasi dan Ketimpanagan Sosial

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, mengatakan padatnya pemukiman warga di Gang Venus adalah cerminan dari kerasnya urbanisasi dan ketimpangan sosial di Jakarta.

Ia menilai ada sejumlah faktor yang menyebabkan masih bertahan di wilayah tersebut meski hidup tidak nyaman.

Salah satunya adalah agar para perantau tetap dekat dengan sumber penghasilan. Yang jadi persoalan, kehidupan di kota acap kali lebih mahal daripada di desa. Untuk mendapatkan hunian dengan harga murah di metropolitan, para perantau memilih untuk hidup dengan kondisi seadanya.

"Di Indonesia, 80 persen uang ada di kota, sisanya di Desa. Saya melihat, sepertinya saat ini ada persepsi bahwa tidak ada uang lagi di Desa. Lapangan kerja tidak banyak di sana. Kesempatan kerja tidak merata sehingga mereka menumpuk di kota. Ini yang kita sebut cerminan dari ketimpangan sosial dan kemiskinan struktural," bebernya.

Halaman 2 dari 2
(rrd/rir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads