Banyak Negara Bertikai soal Dagang Bikin WTO Waswas

Banyak Negara Bertikai soal Dagang Bikin WTO Waswas

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Selasa, 03 Okt 2023 08:45 WIB
Refleksi Kekalahan Indonesia di WTO
Foto: detik
Jakarta -

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia tengah dihadapkan masalah yakni menumpuknya sengketa perselisihan yang belum terselesaikan.

Dikutip dari Reuters, Selasa (3/10/2023), sejak akhir tahun 2019 yakni setelah Amerika Serikat (AS) memblokir penunjukan hakim baru di Badan Banding WTO karena persoalan masalah hukum, sebanyak 29 kasus dibiarkan terbengkalai. Hal ini pun menjadi persoalan terhadap sistem penyelesaian sengketa.

Kasus yang diajukan tersebut antara lain China, Republik Dominika, India, Indonesia, Maroko, Pakistan, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak ada lagi penipuan, tidak ada lagi berpura-pura mengajukan banding," kata mantan wakil direktur jenderal Alan Wolff pada konferensi WTO bulan lalu.

Ia juga mendesak negara-negara untuk menunda pengajuan banding baru mulai tahun 2024 ketika anggota WTO telah berjanji untuk mengatasi masalah ini.

ADVERTISEMENT

WTO sendiri telah memperingatkan polikrisis dari pandemi, perang di Ukraina dan inflasi dapat melemahkan kepercayaan terhadap globalisasi. Dampaknya ialah semakin besar pengabaian terhadap peraturan perdagangan global di kalangan anggota WTO.

Bulan lalu mereka memperingatkan bahwa gelombang tindakan sepihak, jika tidak dikendalikan akan memecah perekonomian dunia dan menghilangkan 5% pendapatan global.

Pembatasan impor telah berkurang sejak tahun 2018, ketika Presiden Amerika Serikat saat itu Donald Trump mengenakan tarif terhadap barang-barang dari China dan negara lain. Namun, pembatasan ekspor mengimbangi penurunan tarif tersebut.

Pembatasan tersebut rata-rata terjadi 21 per tahun antara tahun 2016 dan 2019, namun meningkat menjadi 139 pada tahun lalu.

Hal ini memicu kekhawatiran di WTO. Kebijakan ini menargetkan pembatasan ekspor seperti pada beras India dan subsidi yang diberikan oleh dorongan teknologi ramah lingkungan seperti Inflation Reduction Act di Amerika Serikat dengan bias pada produksi di Amerika Utara, atau pada mobil listrik di China yang sedang diselidiki oleh Uni Eropa.

(acd/rrd)

Hide Ads