Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia berharap pemimpin ke depan yang menggantikan presiden Joko Widodo (Jokowi) berani melanjutkan hilirisasi. Indonesia dianggap kembali ke jaman penjajahan jika menghentikan program tersebut.
Bahlil mengatakan mungkin saja ada pihak dari bakal calon presiden yang tidak suka hilirisasi dilanjutkan. Hal itu sama saja kembali ke jaman VOC di mana Indonesia hanya mengekspor bahan mentah.
"Saya harapkan calon presiden ke depan atau 3 capres ini bisa melanjutkan ini (hilirisasi), karena saya juga punya keyakinan ada pihak lain yang tidak ingin barang ini dilanjutkan. Kalau ada pihak-pihak lain yang tidak pengin dilanjutkan, ini sama dengan kita kembali ke jaman penjajahan karena dulu jaman Belanda, kenapa kita dikendalikan VOC karena hanya mengambil bahan baku kemudian diekspor," kata Bahlil dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (20/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahlil menyebut larangan ekspor bahan mentah diusung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009, namun belum sempat dieksekusi sudah selesai masa jabatannya. Inisiasi itu kemudian dilanjutkan oleh Presiden Jokowi.
"Pak Jokowi yang mengeksekusi, melarang ekspor. Sekarang ada orang yang masuk di salah satu capres mungkin, membuat program agar tidak melanjutkan hilirisasi, ini bahaya, negara kita tidak boleh dikendalikan oleh orang-orang seperti ini," tuturnya.
"Makanya presiden itu harus berani, harus punya keteguhan hati dan tahu teknis. Saya berkepentingan menyampaikan ini karena sebagai menteri investasi, karena legacy yang ada di kantor ini kan harus dilanjutkan siapapun menterinya, harus mampu melanjutkan," tambahnya.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/Kepala BKPM, realisasi investasi di bidang hilirisasi periode Januari-September 2023 mencapai Rp 266 triliun. Rinciannya di sektor mineral untuk smelter nikel Rp 97 triliun, tembaga Rp 47,6 triliun, dan bauksit Rp 7,1 triliun.
Lalu di sektor pertanian CPO/oleochemical Rp 39,5 triliun, kehutanan sektor pulp & paper Rp 34,8 triliun, minyak dan gas petrochemical Rp 31,6 triliun, serta ekosistem kendaraan listrik Rp 8,4 triliun.
(aid/kil)