Penumpang Waswas Dolar AS Menguat Bikin Harga Tiket Pesawat Naik

Penumpang Waswas Dolar AS Menguat Bikin Harga Tiket Pesawat Naik

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 27 Okt 2023 10:33 WIB
Wide-angle view of a modern aircraft gaining the altitude outside the glass window facade of a contemporary waiting hall with multiple rows of seats and reflections indoors of an airport terminal El Prat in Barcelona
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/skyNext
Jakarta -

Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie mengungkapkan kekhawatiran akibat dari kenaikan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang mendekati Rp 16.000. Hal ini dapat berimbas pada kenaikan biaya operasional, hingga menambah beban maskapai.

Alvin menjelaskan, ada tiga komponen utama yang menjadi unsur utama biaya operasional maskapai. Pertama, bahan bakar avtur sebesar 36%, lalu pemeliharaan 16%, dan terakhir sewa pesawat atau penyusutan sebesar 14%. Secara total, ketiga komponen ini menyumbang 66% dari besaran tarif penerbangan.

"Pemeliharaan tak terlepas dari dolar, cadang harganya dalam dolar atau euro. Penyusutan dan sewa pesawat juga valuta asing. Avtur juga mengikuti," kata Alvin dalam sambutannya di Seminar Hari Penerbangan Nasional di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (27/10/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi ketika rupiah melemah jadi beban. Terutama hidupnya dari rute domestik, rute internasionalnya tidak seberapa. Rute domestik penghasilannya rupiah karena tiket dijual rupiah, tapi biaya-biayanya banyak dalam dolar," sambungnya.

Dengan demikian, menurutnya secara pelaporan di atas kertas kelihatannya maskapai-maskapai di Tanah Air untung. Namun pada praktiknya belum tentu demikian. Hal inilah yang menjadi tantangan yang harus dihadapi para pelaku industri dengan berhati-hati.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, sejak 2019 hingga saat ini tarif batas atas (tba) untuk tiket penerbangan belum mengalami penyesuaian hingga saat ini, sementara asumsi-asumsi lainnya sudah mengalami perubahan. Adapun pada saat Keputusan Menhub (KM) No 106 Tahun 2019 diterbitkan, harga avtur pada kala itu Rp 9.243 per liter di Bandara Soekarno-Hatta dan nilai tukar rupiah Rp 14.520 per US$.

"Sedangkan harga avtur yang berlaku mulai 15 Oktober sampai 31 Oktober di Bandara Soetta sat ini adalah Rp 15.324. Bandingkan, dari Rp 9.243 sekarang Rp 15.324. Kenaikannya sudah sedemikian besar," ungkapnya.

Tak hanya itu, biaya lainnya mulai dari operasional, gaji karyawan, hingga biaya fasilitas pesawat juga telah mengalami kenaikan sejak 4,5 tahun terakhir kali ketetapan tarif batas atas dirilis. Sementara sejak saat itu hingga saat ini, harga tiket belum boleh naik.

Alvin mengatakan, banyak komponen lainnya, baik di dalam industri penerbangan itu sendiri maupun di luar yang membuat harga yang dibayarkan konsumen naik. Padahal, hal ini bukan bersumber dari harga pokok tiket yang masuk ke kantong maskapai melainkan sejumlah pajak pemerintah. Beberapa di antaranya seperti tuslah bahan bakar hingga retribusi bandara yang telah mengalami kenaikan cukup signifikan

"Retribusi bandara, ini juga mengalami kenaikan signifikan 20-40% dan semuanya itu kalau konsumen membaca harga tiket yang dibayar, itu akan keliatan harganya berapa PJP2U berapa, PPN berapa," kata Alvin.

"Tapi masalahnya konsumen tak lihat. Tahunya sekarang saya bayar sekian, sehingga terasa harga tiket naik. Padahal yang naik bukan tiket, tapi biaya-biaya lain. Itu tak masuk ke maskapai, tapi maskapai yang menerima uangnya untuk disetorkan," imbuhnya.

Oleh karena itu, Alvin berharap pemerintah dapat membantu untuk mencarikan solusi yang adil, baik untuk sisi maskapai yang membutuhkan keuangan yang lebih sehat, maupun sisi konsumen yang membutuhkan harga tiket terjangkau. Salah satu permintaannya ialah, agar pemerintah meninjau kembali kebijakan tarif batas atas yang sudah ditahan di posisi tersebut selama 4,5 tahun.

"Mohon ditinjau kembali tarif batas atas, beri ruang gerak yang lebih leluasa agar maskapai ini bisa mempertahankan kehidupannya dan juga bersiang secara sehat. Kami dukung persaingan sehat. Sudah 4,5 tahun ini, sudah saatnya ditinjau kembali," pungkasnya.

(shc/ara)

Hide Ads