Amran mengatakan dirinya bukan anti adanya impor. Namun, menurutnya importasi pangan harus dilakukan di waktu yang tepat.
Dia mencontohkan persoalan jagung. Menurutnya impor jagung sah-sah saja dilakukan asalkan tidak dilakukan saat puncaknya panen. Hal ini juga berlaku pada komoditas pangan lainnya.
"Waktu dulu itu saya masih ingat pada saat panen puncak impor jagung masuk, di Surabaya, harga jagung sampai Rp 1.000. Saya dampingi bapak Presiden di NTB, apa yang terjadi? Itu teriak petani, nangis peluk saya, 'aku pulang nanti tahan impor'. Tetapi kalau terlalu tinggi itu impor kalau stok itu saya katakan, bukan anti impor, karena kita menjaga keseimbanga stok, jangan diplintir," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau terjadi panen puncak dan impor masuk, anjlok (harga)," tambahnya.
Untuk itu jangan sampai dilakukan impor saat panen raya. Kemudian saat masa tanam, jika ada kenaikan sedikit, diharapkan bisa memberikan ruang petani mendapatkan untung lebih.
Meskipun menurutnya kenaikan harga saat masa tanam jangan sampai terlalu tinggi. Maka di situlah impor pangan bisa dilakukan dan disebar ke masyarakat.
"Kalau harga naik sedikit, itu buat petani bernapas, supaya dia bisa bernapas. Tetapi jangan terlalu tinggi karena kita menjaga peternak. Bukan anti impor, karena kita menjaga keseimbangan stok, jangan diplintir," ujarnya.
Impor bisa dilakukan dan disimpan oleh Perum Bulog. Kemudian hasil impor dikeluarkan stoknya saat harga mulai melonjak. Saat panen raya, menurutnya bukan waktunya hasil impor disebarkan ke pasaran.
"Simpan di bulog, ini (stok impor) keluar saat titik ambang batas harga tertinggi jagung. Ini masuk supaya mereda. Begitu harga jatuh, Bulog itu menjadi stabilisator, harus menjadi penyangga harga," pungkasnya.
(ada/hns)