Bisnis Penerbangan Ternyata Sedang Tidak Baik-baik Saja, Ada Apa Nih?

Bisnis Penerbangan Ternyata Sedang Tidak Baik-baik Saja, Ada Apa Nih?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Sabtu, 28 Okt 2023 11:26 WIB
Pengendara kendaraan bermotor melintas di tengah kabut asap akibat kebakaran lahan di Kecamatan Liang Anggang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Jumat (23/6/2023). Berdasarkan tabel kualitas udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (23/6) kualitas udara di Banjarbaru mengalami kenaikan dari baik ke sedang hal ini diakibatkan salah satunya dampak kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mulai meluas di Kalsel. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S.
Ilustrasi.Foto: ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S
Jakarta -

Industri penerbangan Tanah Air ternyata belum pulih total usai dihantam pandemi COVID-19. Belum lagi tantangan-tantangan baru yang membuat bebab operasional maskapai bertambah berat.

Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie mengatakan, jumlah pesawat RI yang beroperasi sebelum pandemi ada sekitar 600 unit. Pandemi pun membuat jumlahnua susut ke angka 300-an. Kini, jumlah yang siap beroperasi baru mencapai 419 unit.

Dalam masa transisinya menuju pulih, muncul sejumlah tantangan baru. pertama ialah adanya kelangkaan suku cadang. Hal ini disebabkan, seluruh maskapai serempak mau mengaktifkan pesawatnya yang semula beristirahat sehingga diperlukan penggantian suku cadang. Selain itu, pesawat juga butuh Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Akibatnya terjadi kelangkaan suku cadang karena pembuatnya tak bisa serta merta naikkan kuantitas. Pelayanan MRO juga tak serta merta bisa dinaikkan kapasitasnya," kata Alvin, dalam sambutannya di Seminar Hari Penerbangan Nasional di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (27/10/2023).

"Terjadilah satu kelangkaan suku cadang, dan kedua antrean panjang MRO. Itulah mengapa pesawat di RI banyak, tetapi yang bisa operasi sedikit karena yang lain menunggu," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Selain itu, kondisi kelangkaan suku cadang yang cukup parah ini malah memunculkan suku cadang KW doi pasaran. Alvin mengatakan, untungnya kondisi ini segera tertangani, vendor yang menjual komponen KW sudah di-blacklist sehingga para penyelenggara MRO sudah bersih.

Tantangan berikutnya ialah nilai tukar rupiah yang terus mengalami pelemahan hingga semakin mendekati Rp 16.000 per US$. Hal ini membuat maskapai terbebani dengan potensi peningkatan biaya operasional.

"Jadi ketika rupiah melemah jadi beban. Terutama hidupnya dari rute domestik, rute internasionalnya tidak seberapa. Rute domestik penghasilannya rupiah karena tiket dijual rupiah, tapi biaya-biayanya banyak dalam dolar AS," ujarnya.

Ditambah lagi, sejak 2019 hingga saat ini tarif batas atas (TBA) untuk tiket penerbangan belum mengalami penyesuaian hingga saat ini. Adapun pada saat Keputusan Menhub (KM) No 106 Tahun 2019 diterbitkan, harga avtur pada kala itu Rp 9.243 per liter di Bandara Soekarno Hatta dan nilai tukar rupiah Rp 14.520 per US$.

"Sedangkan harga avtur yang berlaku mulai 15 Oktober sampai dengan 31 Oktober di bandara Soetta sat ini adalah Rp 15.324. Bandingkan, dari Rp 9.243 sekarang Rp 15.324. Kenaikannya sudah sedemikian besar," jelas dia.

3 Permintaan asosiasi demi perkuat Industri penerbangan. Langsung klik halaman berikutnya

Demi memperkuat industri, Alvin mengajukan sejumlah permintaan kepada Kementerian Perhubungan. Hal ini disampaikannya tepat dihadapan Sekretaris Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Cecep Kurniawan.

Pertama, ia berharap Kementerian Perhubungan mau mengambil langkah agresif untuk membuat impornya bebas bea masuk ataupun pajak. Hal ini didasara atas negara-negara anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) umumnya sudah menerapkan bebas bea masuk dan pajak impor untuk suku cadang angkutan publik.

"Mohon juga Kementerian Perhubungan bisa lebih efektif atau bahkan agresif merayu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) agar importasinya bisa lebih cepat dan dibebaskan bea masuk pajaknya," ujarnya.

Selain itu, Alvin juga meminta agar pemerintah mempertimbangkan untuk segera meninjau tarif batas atas. Usulan ini diajukannya guna mendukung persaingan yang sehat antar maskapai penerbangan.

"Pak (Cecep) mohon ditinjau kembali tarif batas atas, beri ruang gerak yang lebih leluasa agar maskapai ini bisa mempertahankan kehidupannya dan juga bersaing secara sehat," kata Alvin.

Alvin mengatakan, usulan ini diajukannya mengingat sudah sekitar 4,5 tahun sejak terakhir kali batasan tarif ini ditetapkan pemerintah. Semenjak saat itu, sudah ada banyak perubahan yang terjadi, khususnya dalam hal biaya operasional.

Terakhir, ia meminta agar Kementerian perhubungan mempertimbangkan untuk menahan kenaikan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) alias retribusi bandara. Dalam regulasinya, retribusi bandara boleh diajukan untuk dinaikkan setiap 2 tahun sekali sehingga seharusnya, 2024 mendatang tiba waktu penyesuaian tersebut.


Hide Ads