Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2023 lebih rendah dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya maupun sebelum pandemi COVID-19. Hal ini diduga akan merembet hingga kuartal IV-2023. Melihat situasi tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mewanti-wanti terjadinya perlambatan ekonomi.
"Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal-III 2023 hanya tumbuh sebesar 4,94% (yoy). Jauh lebih rendah dibandingkan kuartal III-2022 yang mencapai 5,73% (yoy) maupun kinerja sebelum pandemi, yaitu kuartal III-2019 sebesar 5,01% (yoy)," tulis INDEF dalam keterangan resminya, Kamis (9/11/2023).
Menurut Indef, capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di angka 4,94% merupakan yang terendah sejak akhir 2021. Menurut mereka, hal ini merupakan alarm perlambatan ekonomi yang tidak boleh diabaikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kinerja ekonomi perlu mendapat perhatian serius seiring momentum dimulainya kontestasi politik Pemilu 2024," tegas Indef.
Para Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden perlu menjawab tantangan ekonomi saat ini dengan menawarkan solusi agenda ekonomi lima tahun mendatang. Ketidakpastian ekonomi pun disinyalir masih akan membayangi kinerja ekonomi kuartal IV-2023 sehingga risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi masih mungkin berlanjut.
Di sisi lain, Indef melihat kehadiran momentum libur panjang Nataru (Natal dan Tahun Baru) dapat menjadi kesempatan adanya peningkatan konsumsi hingga meningkatnya likuiditas yang dapat mengakselerasi kinerja ekonomi. Ditambah lagi dengan mulai meriahnya pesta demokrasi Pemilu serta belanja APBN yang masih perlu terus dipacu.
"Dengan demikian masih terdapat peluang peningkatan belanja untuk masyarakat. Diproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan IV-2023 sebesar 4,9%," jelas Indef.
Catatan Ekonomi Indef:
1. Ekonomi Terpapar Perlambatan Global
Akibat kenaikan harga beras, minyak bumi, dan emas dalam tiga bulan terakhir, World Economic Forum pada Oktober 2023 memberikan peringatan bahwa inflasi dunia akan meningkat dari 6,8% menjadi 6,9% pada 2023. Bahkan pada Emerging Market and Developing Economies meningkat lebih tinggi dari 8,3% menjadi 8,5%. Kondisi ini mengakibatkan The Fed dan beberapa negara lain juga menaikkan suku bunganya, termasuk BI dari 5,75% menjadi 6% pada 19 Oktober 2023 lalu.
Konsekuensinya di dalam negeri, hal ini melemahkan permintaan kredit hingga di bawah 10%. Kenaikan suku bunga memang dapat meredam fluktuasi pasar keuangan, namun hal ini juga akan berdampak pada terancamnya laju pertumbuhan ekonomi. Dengan situasi ini, maka tampaknya tekanan masih akan berlanjut hingga awal 2024 manakala inflasi global masih tinggi, khususnya di negara mitra dagang utama AS, China, maupun Uni Eropa.
2. Ancaman Krisis Pangan Mengkhawatirkan
Sektor pertanian hanya tumbuh 1,46 % (yoy) atau lebih buruk dibandingkan kuartal II-2023 sebesar 2,02% (yoy) atau jauh lebih rendah dibandingkan kuartal III-2022 sebesar 1,97% (yoy). Merosotnya sektor pertanian diakibatkan oleh fenomena El Nino yang terjadi sejak Juli hingga Oktober 2023 dengan penurunan produksi beras yang diperkirakan 1,5 juta ton.
Ancaman krisis pangan diperburuk dengan lonjakan harga beras medium dari rata-rata Rp 10.000/kg menjadi di atas Rp 13.000/kg. Ketidakmampuan pemerintah menghadirkan harga beras yang stabil masih akan terus berlanjut hingga awal 2024 meskipun impor beras telah dilakukan cukup banyak. Situasi ini dapat berakibat pada terganggunya stabilitas politik mengingat beras adalah kebutuhan semua penduduk di Indonesia, apapun status sosial-ekonominya.
3. Kendornya Kinerja Ekspor
Neraca perdagangan memang mencatatkan surplus 41 bulan, namun sebenarnya kinerja ekspor cenderung turun. Salah satu penyebab utama ekonomi triwulan III-2023 turun adalah melemahnya sumbangan ekspor yang tumbuh -4,26% (yoy).
Beberapa negara mitra dagang utama Indonesia, seperti China dan Korea Selatan mengalami perlambatan ekonomi sehingga diperkirakan impor dari Indonesia semakin berkurang. Situasi ini juga diperburuk oleh melemahnya permintaan beberapa komoditas utama ekspor, seperti minyak sawit, batubara, nikel, gas alam, maupun minyak mentah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
4. Konsumsi Pemerintah Negatif
Di tengah pemulihan ekonomi, konsumsi pemerintah kuartal III-2023 justru tumbuh negatif -3,76% (yoy), padahal pada kuartal II sempat tumbuh positif. Hal ini menunjukkan belanja pemerintah masih menjadi masalah utama ketimbang penerimaan negara.
Di sisi belanja, pada September 2023, realisasi belanja negara telah mencapai Rp 1.967,93 triliun, atau 64,29% dari pagu yang dianggarkan dalam APBN 2023. Capaian realisasi tersebut didukung oleh realisasi belanja pegawai (70,59 %), belanja barang (65,48 %), serta bantuan sosial (72,87 %). Hanya saja, terjadi penurunan pertumbuhan belanja K/L -0,72% (yoy) dengan realisasi sampai September 66,9%, serta realisasi belanja modal masih rendah, yaitu 60,55%.
Di sisi penerimaan, hingga September 2023 penerimaan negara sebesar Rp 2.035,62 triliun atau 82,65% dari target. Ini menunjukkan surplus anggaran negara bukanlah prestasi yang membanggakan manakala konsumsi pemerintah masih negatif.
Daya beli masyarakat tertekan. Cek halaman berikutnya.