Petani tembakau dan cengkeh menolak keras aturan pengetatan rokok dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif.
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengungkap aturan itu dikhawatirkan akan berdampak pada nasib petani dan pekerja yang ada di industri pertembakauan.
Ketua Umum AMTI I Ketut Budhyman Mudhara mengungkap saat ini industri pertembakauan ini telah menyerap banyak tenaga kerja. Tidak hanya pertani, tetapi juga orang-orang yang bekerja sebagai pelinting rokok atau pada Sigaret Kretek Tangan (SKT).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sektor ini banyak melibatkan pekerja perempuan yang kini juga menjadi ibu rumah tangga. Pekerja dengan karakteristik tekun,ulet dan rapi sangat dibutuhkan dalam proses produksi rokok SKT. Kedua, sektor SKT banyak ditemukan mempekerjakan pekerja yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas," jelas dia dalam media gathering di Langit Seduh Selatan, Jakarta Selatan, Jumat (24/11/2023).
Produksi SKT disebut memerlukan ketrampilan dan kerajinan serta kesabaran dalam proses pembuatannya dan syarat ini cocok untuk kaum perempuan. Kinerja yang lebih teliti, rapi, mudah diatur, serta cepat dalam produksi menjadi pertimbangan pabrikan SKT merekrut tenaga kerja perempuan.
Budhyman juga mengatakan, selama pandemi COVID-19 lalu, industri pertembakauan juga banyak membantu pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga yang berpendidikan rendah. Jadi, pengetatan rokok tentu akan mempertaruhkan nasib para pekerja.
"Ini adalah tempat orang-orang (bekerja) yang pendidikan minimal (rendah) bisa bekerja di situ. Ada yang SD, bahkan SD nggak tamat. Ketika pandemi kemarin, banyak suami-suami yang ter-PHK, sehingga membantu, bahkan tulang punggung keluarga ada ibu-ibu rumah tangga," jelas dia.
Dia mengatakan ada lebih dari 6 juta pekerja yang menggantungkan hidupnya pada industri tembakau. Jika ada pengetatan peredaran rokok, sampai saat ini belum ada bantuan atau pilihan lain dari pemerintah akan bekerja apa para pekerja itu.
"6 juta lebih orang yang tergantung ini kalau sampai ini (sah), berapa tenaga kerja atau orang yang terlantarkan, sementara pemerintah belum bisa memberikan penggantinya," terang dia.
Dia juga mengatakan tidak hanya memberdayakan pekerjanya, kehadiran industri SKT juga turut memberikan efek ganda bagi perekonomian lokal di sekitar area pabrik. Misalnya warung makanan dan minuman, toko kelontong, angkutan umum, dan sebagainya.
"SKT adalah sektor padat karya yang menumbuhkan perekonomian daerah dengan menjadi mata rantai yang saling bergantung. Oleh karena itu, terganggunya kehidupan SKT pasti akan berdampak pada sektor penunjang lainnya," ujar dia.
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun berpendapat, draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau sebagaimana amanat Pasal 152 UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dinilai melampaui kewenangan (over authority), karena beberapa pasal di dalamnya, terlebih yang terkait tembakau bertabrakan dan melebar dari apa yang diatur di dalam UU.
"Sumbangsih industri hasil tembakau (IHT) terhadap negara selama ini sudah sangat luar biasa, namun terus ditekan dengan berbagai macam aturan," kata Misbakhun.
Dia mencontohkan salah satu pasal terkait larangan penjualan eceran. Hal ini sangat aneh karena RPP Kesehatan tidak semestinya mengatur mengenai cara berjualan rokok.
"Ini memperlihatkan over authorithy yang ada di dalam RPP Kesehatan, dan karena itu, sudah sewajarnya kita memakai hak Konstitusi kita sebagai rakyat untuk menolak RPP ini demi memastikan kesejahteraan mata rantai IHT," katanya.
Tanggapan Pemerintah
Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Cahyani Suryandari mengatakan,rokok bukanlah produk yang dilarang untuk diiklankan. Hal itu, didasarkan putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait produk rokok.
"Kita bicara soal pengamanan, termasuk bicara tembakau, tidak putus dari putusan MK. Kita punya 6 bahkan, tapi saya mengambil beberapa sampel saja dari putusan MK," kata Cahyani.
Cahyani menegaskan, salah satu kesimpulan dari putusan MK tersebut menyatakan bahwa tembakau adalah produk yang legal, yang dapat diatur tapi tidak dilarang. Selain itu, rokok bukan barang ilegal yang dilarang untuk diiklankan, tapi tetap dengan syarat-syarat tertentu.
"Kemudian, rokok bukanlah barang ilegal, ini saya ambil dari pertimbangan MK, sehingga tidak dapat dilarang untuk diiklankan, walaupun dengan syarat-syarat tertentu," kata dia.
Cahyani menjelaskan, walaupun rokok boleh diiklankan, harus ada bentuk pengamanan tertentu. Seperti iklan yang ditayangkan harus lebih dari jam 10 malam hingga tidak boleh ditampilkannya produk rokok itu sendiri. "Artinya kalau diiklankan harus ada jaring-jaring pengamannya," ujarnya.
Selain itu, dalam putusan MK tersebut, tidak ada larangan rokok untuk dipublikasikan. Rokok itu sendiri produk yang legal dan terbukti dengan dikenakannya cukai.
"Kemudian tidak pernah ada menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan terlebih lagi tidak ada larangan untuk diperjualbelikan ataupun tidak pernah menempatkan tembakau dan cengkeh sebagai produk pertanian yang dilarang," tuturnya.
Sementara itu Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menegaskan, pihaknya siap mengawal penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan demi menjaga iklim usaha industri hasil tembakau (IHT).
Edy mengatakan, IHT mendapatkan sejumlah tekanan mulai dari kenaikan cukai sejak 2020 hingga pembahasan RPP Kesehatan. "Sejak 2020 hingga 2022 ini, cukai terus naik dan HJE (harga jual eceran) juga naik," kata Edy.
Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Menurut Edy, perusahaan rokok awalnya tidak ingin menaikkan harga untuk mempertahankan konsumen. Namun, pada akhirnya industri hasil tembakau terpaksa harus menaikkan harga rokok mengingat margin keuntungan yang semakin menipis.
"Sejak pertengahan tahun ini, IHT secara perlahan naikkan harga rokok, hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap rokok sehingga pesanan baru semakin turun menjelang akhir tahun ini," katanya.
Penurunan pesanan baru ini juga menyebabkan penurunan produksi. Kondisi tersebut diperberat dengan pembahasan RPP Kesehatan, terutama pada bagian pengamanan zat aditif, yang dinilai berpotensi mematikan IHT.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, dalam penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana Undang Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sinergi antar kementerian dan lembaga adalah hal yang utama.
Menurut Nirwala, dalam pembahasan aturan pengendalian, ada 2 instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk menghasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait.
"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU Cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih," kata Nirwala.
Nirwala juga mengatakan, sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Apakah benar PP 109/2012 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan bergambar 90%, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu mengenai uji nikotin, dimana, siapa dan bagaimana implementasinya," tanya Nirwala.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)meminta sejumlah pasal untuk dicabut, khususnya pasal-pasal pengaturan produk tembakau yang dapat berdampak negatif terhadap keberlangsungan tenaga kerja secara luas.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri mengatakan, posisi Kemnaker pada prinsipnya mengusulkan agar pasal-pasal yang menuai masalah untuk tidak dimuat dalam RPP Kesehatan.
Pasal-pasal dimaksud adalah yang berdampak pada kondisi hubungan industrial, terutama yang berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Pasal-pasal yang bisa berdampak pada PHK sudah kami petakan. Terutama ada lima pasal yang krusial," tegasnya
(ada/kil)