Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI)mengungkap produksi rokok telah menurun beberapa tahun belakangan ini. Ketua Umum AMTI I Ketut Budhyman Mudhara mengatakan sebelumnya produksi rokok bisa mencapai 357 miliar batang, namun sekarang tinggal 323,9 miliar batang.
"Penurunan ini akan berdampaknya pasti ke tenaga kerja, kemudian bahan baku. Perlu diketahui, 97% rokok keretek itu bahan bakunya cengkeh, tentu cengkeh akan terganggu, semuanya terganggu, dampak ekonomi ke sekian persen itu akan terasa," kata dia dalam media gathering di Langit Seduh Selatan, Jakarta Selatan, Jumat (24/11/2023).
Budhyman menyebut saat ini kondisi pertanian tembakau masih dalam keadaan baik-baik saja. Karena musim kemarau ini produktivitas tembakau meningkat dan harga juga baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari sisi tembakau ini masih pasti terserap, jadi kelihatannya tidak ada masalah. Kualitasnya juga bagus," tuturnya.
Sebagai informasi bahan baku utama rokok kretek tidak hanya tembakau, tetapi juga cengkeh. Nah kondisi berbeda dengan tembakau, cengkeh mengalami penurunan produksi.
"Cengkeh itu pembuahannya kan, ketika Desember, Januari kalau hujan itu kan pohon cengkeh itu nggak keluar bunganya, hanya daun-daun muda saja. Kemudian tahun ini jadinya terjadi penurunan produksi, malah harganya naik dan barangnya nggak banyak. Mungkin ini kan suplai dan demand-nya sedikit," jelasnya.
Dia menyebut, jika rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif di berlakukan, kondisi tersebut akan berdampak pada pertanian tembakau dan cengkeh.
"RPP-nya bukannya tamah ringan kita melihatnya banyak pasal-pasal memberatkan. Rokok ini adalah produk legal, bukan ilegal, tentunya perlu diperlakukan sama dengan produk legal lainnya, tidak diskriminatif, sehingga kami menolak RPP tersebut dan meminta ada pembahasan yang bisa dipisahkan dengan yang lainnya," jelas dia.
Praktisi sekaligus Pengamat Industri Hasil Tembakau (IHT), Willem Petrus Riwu, mengatakan UU Kesehatan yang merupakan payung hukum RPP Kesehatan tidak mengamanatkan adanya larangan terhadap produk tembakau, baik itu larangan produksi, iklan, promosi, maupun penjualan.
"Faktanya, di RPP Kesehatan ini banyak larangan (bagi produk tembakau). Sebaliknya, pasal tentang pengendalian, edukasi, dan sosialisasi itu tidak ada. Hanya larangan saja. Memangnya rokok ini ilegal?" ujar Willem.
Menurut dia rokok juga diakui oleh negara sebagai sumber pendapatan resmi negara yang nilainya besar khususnya melalui cukai rokok dan pajak.
"Isi pasal-pasal (produk tembakau) di RPP Kesehatan banyak yang isinya melarang. Hal ini mengesankan rokok seolah produk ilegal. Sementara, rokok ilegal sendiri sudah makin marak di masyarakat," ujar Willem.
Menurut dia RPP Kesehatan seharusnya didominasi oleh pasal-pasal yang bersifat edukasi dan sosialisasi. Sebab, dengan begitu, maka pemerintah bisa mengoptimalkan perannya dalam pengendalian produk tembakau.
Sebaliknya, Willem menilai pasal-pasal larangan terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan justru dinilai akan menciptakan dampak negatif yang luas, terutama di bidang sosial dan ekonomi, mulai dari pelemahan industri, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penurunan produktivitas petani tembakau dan cengkeh, hingga imbas terhadap industri yang secara tidak langsung berhubungan dengan tembakau, seperti industri kreatif, media, periklanan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, Willem menyarakan pengaturan produk tembakau dikeluarkan dari RPP Kesehatan dan kembali kepada peraturan tersendiri secara terpisah.
"Dipisahkan, jangan digabung. Jadi bahas terpisah saja sebab ekosistemnya berbeda dengan bab-bab (di pasal) yang lain (dalam RPP Kesehatan," jelas dia.
(ada/kil)