Calon Presiden (Capres) nomor urut 1, Anies Baswedan bicara tentang empat tantangan besar yang akan dihadapi Indonesia di masa mendatang. Hal ini disampaikannya dalam paparannya di acara CIFP 2023.
Tantangan pertama ialah geopolitik dunia. Menurutnya, saat ini telah terjadi banyak pergeseran. Dalam hal episentrum atau titik keseimbangannya, Anies melihat kini telah ada pergeseran dari trans Atlantik ke Asia, serta yang dulunya Amerika Serikat (AS)-Uni Soviet menjadi AS-China.
"Kita juga saksikan ancaman-ancaman yang sudah tak lagi homogen, tapi ancaman yang bisa disebut campuran militer dan non militer, istilahnya hybrid. Kemudian ini grey (abu-abu) jenis-jenis ancamannya, tidak perang dan tidak juga damai," katanya, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (2/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, kondisi ini telah mendatangkan gejala penurunan kepercayaan antarnegara. Anies mengatakan, dirinya di 2020 silam bahkan tak membayangkan kalau negara-negara akan mulai berfokus pada anggaran pertahanan seperti saat ini, untuk bersiaga menghadapi situasi ini.
"Di awal 2022 percakapan tentang peningkatan anggaran pertahanan itu muncul di banyak negara, kita pikirkan untuk anggaran lingkungan hidup, kesejahteraan. Tau-tau yang muncul peningkatan anggaran pertahanan. Itu tiga tahun lalu nggak terbayang, sekarang muncul sangat kuat," ujarnya.
Tantangan berikutnya ialah dari segi ekonomi. Anies menyoroti tentang pergerakan arus modal dari negara berkembang ke maju karena perubahan suku bunga dari The Fed. Selain itu ada juga distrupsi produksi terkiat teknologi yang berdampak pada geopolitik.
"Kita memiliki misalnya ketergantungan gandum pada Ukraina hampir 30%, pupuk pada Rusia 15%, dan ketika mereka berdua terlibat dalam konflik dampaknya terasa. Lalu rivalitas antara barat dan China yang berdampak pada bagaimana kita bertransisi energi. Kebetulan 85% dari kapasitas, pengelolaan rantai teknologi bersih berada di China," jelasnya.
Selain itu, ada pula sejumlah pakta-pakta ekonomi baru yang terbentuk yang menunjukkan kompetisi sistem ekonomi global meningkat signifikan. Anies juga menyoroti adanya aging demography, di mana ada usia produktif dan usia pasca produktif proporsinya berubah signifikan.
Lalu yang ketiga, yang menurutnya paling penting dan mendasar ialah lingkungan hidup. Dalam hal ini menurutnya, ada ketidakadilan iklim di mana negara maju dengan porsi 12% penduduk dunia, yang memproduksi 50% karbon dunia. Namun dampak emisi gas rumah kaca (GRK) justru paling dirasakan oleh negara-negara miskin.
"Di Indonesia kita merasakan, ketika terjadi pergeseran, kita menyebutnya bukan climate change tapi climate crisis. Yang paling merasakan justru yang paling bawah," ujar Anies.
"Ketika kemarin kita merasakan ada heat wave di Jakarta dan di Indonesia, yang mampu tinggal nyalain AC, nyaman. Tapi bagi yang tidak, itu luar biasa dampaknya pada kesehatan dan lain-lain. Target mitigasi, target adaptasi untuk perubahan iklim ini belum terpenuhi," imbuhnya.
Terakhir, Anies menyoroti tentang tantangan dalam hal demokrasi dunia. Menurutnya, banyak negara-negara dunia yang bergerak ke arah non-demokrasi. Hampir 37% populasi dunia Sekarang berada di dalam sistem rezim otoriter dan indeks demokrasi 92 negara stagnan atau bahkan turun.
"Seluruh dunia, banyak negara-negara yang bergerak ke arah non-demokrasi. Mau dibilang otoriter belum tampak, lalu juga bergerak ke arah less good governance. Tapi mau dibilang corrupt juga belum. Tapi jelas kita tidak berada di dalam track democratic consolidation, good governance. Itu seperti tema yang dulu populer dan itu menurun," kata Anies.
"Lalu indeks persepsi korupsi, khusus untuk Indonesia jelas mengalami penurunan signifikan, dari posisi 36 tahun 2018, sekarang menjadi 34. Which is no good, dan minim praktik demokrasi dalam politik luar negeri, dan ditambah lagi bila di dalam negeri kita tak mempraktikan demokrasi good governance, tidak mungkin mengkampanyekan ke luar," pungkasnya.
(shc/fdl)