Terkait mewujudkan visi 'Indonesia Emas 2045', pemerintah meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. RPJPN menyebut bahwa untuk dapat segera keluar dari Middle Income Trap (MIT).
Terdapat dua skenario di mana bila rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 6%, maka Indonesia dapat keluar MIT pada tahun 2041 dan bila rata-rata pertumbuhan mencapai 7%, maka Indonesia dapat keluar MIT pada tahun 2038.
Optimisme pemerintah tersebut dibekali oleh beberapa kekuatan utama. Di antaranya, pertama, Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan angkatan kerja sebesar 146,6 juta orang. Kedua, Indonesia saat ini berada pada periode Rasio Ketergantungan Penduduk yang paling rendah (puncak bonus demografi), yang terjadi hanya satu kali dalam sejarah peradaban negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, letak Indonesia strategis dalam perdagangan internasional dan sebagai negara agraris. Keempat, melimpahnya sumber daya alam dengan kekayaan cadangan mineral yang sangat besar.
Rasio Kewirausahaan Baru 3,47%
Selain dari visi Indonesia Emas 2045 tersebut, dalam kesempatan lain, Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki mengemukakan Indonesia baru mencapai rasio kewirausahaan sebesar 3,47%, di mana pada negara lebih maju minimal rasio sebesar 4%.
Hal ini terlihat pada Malaysia dan Thailand yang sudah di atas 4%. Bahkan, Singapura mencapai 8,6% dan negara maju lainnya rata-rata sudah 10-12%.
Dari data-data yang dipaparkan, terlihat bahwa sesungguhnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan yang ada di Indonesia sebaiknya mempersiapkan diri dengan baik, karena apabila rasio kewirausahaan yang ada saat ini tidak bisa meningkat seiring peningkatan angkatan kerja yang signifikan, maka pemerintah akan mengalami kesulitan memanfaatkan bonus demografi yang dimaksud.
Untuk itu, dalam opini kali ini, akan dibahas sedikit upaya yang dapat dilakukan untuk bisa mendukung pengembangan rasio kewirausahaan yang ada di Indonesia, guna mendukung visi Indonesia Emas tahun 2045.
Solow-Swan Growth Model
Sesuai dengan teori Neo-Classical tentang pertumbuhan ekonomi yang dikenal sebagai Solow-Swan Growth Model (1956), terdapat 3 faktor yang memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi. Ini adalah tenaga kerja, permodalan, dan teknologi (keberadaan teknologi maju).
Masalah Pengangguran
Memperhatikan kondisi saat ini, terlihat bahwa kemunculan makin banyak kampus yang sangat baik dalam menciptakan lulusan terbaik, dapat menimbulkan masalah pengangguran yang signifikan bila tidak diikuti dengan bertambahnya perusahaan yang mau menyerap tenaga kerja tersebut. Belum lagi, sesuai teori Solow-Swan Growth Model, ternyata kehadiran teknologi maju sudah menggantikan peran manusia di banyak hal, misalnya penjaga parkir, penjaga pintu tol, dan bahkan teller di bank, yang sudah mulai tergantikan dengan kehadiran mesin-mesin ATM dan layanan mobile banking.
Selain itu, kehadiran teknologi maju akan semakin cepat menciptakan perusahaan-perusahaan yang berniat melakukan investasi pada mesin-mesin yang canggih, untuk pengolahan produknya dan menggantikan peran manusia di dalamnya. Dan apabila ini terus berlanjut, maka cukup sulit pemerintah dapat mencapai peningkatan ekonomi karena kurangnya penyerapan tenaga kerja yang ada.
Di sisi lain, mendorong rasio kewirausahaan juga bukan menjadi hal yang mudah, dikarenakan banyak hal yang cukup memberatkan seseorang untuk bisa yakin menjadi pengusaha. Ini misalkan faktor permodalan, faktor perizinan, faktor pemasaran yang sudah banyak dikuasai oleh pemain-pemain lama, dan faktor perkembangan teknologi yang sudah sangat cepat.
Perlu Dukung Wirausaha Sekitar
Berdasarkan pengalaman yang sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, kami melihat bahwa kebuntuan dari sulitnya mendorong peningkatan rasio kewirausahaan ini, dapat dicarikan jalan keluarnya. Ini misalnya melalui pemerintah yang dapat meminta perusahaan korporasi untuk menyalurkan program tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR), guna mendukung munculnya para wirausaha-wirausaha di daerah tempat mereka beroperasi.
Dalam industri hulu migas, pada tahun 2023, perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) seperti Pertamina, Medco, BP, Petronas dan lain-lain diminta untuk mendorong pemanfaatan program tanggung jawab sosialnya. Ini dengan memberikan pendampingan dan pelatihan langsung ke para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sehingga banyak UMKM akhirnya berhasil memperoleh sertifikat halal, memasukkan produknya ke dalam marketplace, mendapatkan pelatihan untuk packaging, hingga membuka dan mendukung untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan.
Dari kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan tersebut, dapat terlihat bahwa UMKM-UMKM di masing-masing daerah itu ternyata mampu mengembangkan local wisdom dan local products yang sangat unik. Ini misalkan batik-batik Nusantara yang sangat beragam dari Sumatra sampai Papua, makanan-makanan khas daerah yang sangat unik, kerajinan tangan yang sudah bisa didorong untuk memasuki pasar ekspor, dan banyak lagi produk yang tidak pernah kita sadari ternyata sangat baik dan menunjukkan keragaman dan kebesaran Indonesia.
Keberhasilan implementasi program tanggung jawab sosial dalam peningkatan kompetensi UMKM ini juga ternyata mendapatkan sambutan luar biasa dari Pemerintah Daerah, sebagai stakeholder para KKKS di daerah. Pasalnya, konsep ini juga ternyata bisa mendorong pertumbuhan daerah, mendorong penyerapan tenaga kerja, mendorong perputaran uang di daerah, serta untuk UMKM binaan terbaik sudah bisa menjadi duta yang membanggakan di dunia internasional.
Sedikit sumbangsih pemikiran dan hasil yang sudah dilakukan oleh industri hulu migas ini, rasanya bisa dicoba diterapkan di industri lain. Dengan demikian, keberadaan industri dapat mengembangkan industri lain, sehingga berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Penulis berharap hal ini dapat tercapai. Indonesia segera bisa keluar dari MIT merupakan keniscayaan, apabila pemerintah, perusahaan, perbankan, dan UMKM dapat berkolaborasi kuat untuk terus berkreasi dalam menyerap tenaga kerja andal serta menciptakan competitive advantage yang bisa selalu membanggakan Indonesia.
Dr Erwin Suryadi, MBA, Pengamat Migas dan Ekonomi
(prf/ega)