Kenaikan Pajak Hiburan Bisa Matikan Spa-Karaoke & Bikin Ekonomi Bali Kolaps

Kenaikan Pajak Hiburan Bisa Matikan Spa-Karaoke & Bikin Ekonomi Bali Kolaps

Retno Ayuningrum - detikFinance
Selasa, 23 Jan 2024 07:29 WIB
Pertunjukan Tari Kecak dan Tari Api di Atlas Beach Club, Bali
Foto: (dok Atlas Beach Club)
Jakarta -

Kenaikan tarif pajak hiburan atas diskotik, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa menuai protes di kalangan pengusaha hiburan. Melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pajak hiburan tertentu dipatok 40-75%.

Kenaikan tarif pajak disebut dapat mematikan industri hiburan. Pengusaha sekaligus pengacara kondang Hotman Paris Hutapea mengatakan tarif pajak sebesar 40-75% ini sebenarnya dibayarkan oleh pelanggan. Namun, apabila pelanggan tidak membayar berarti perusahaan yang menanggungnya.

Hotman menyimpulkan besaran tarif pajak 40-75% itu dibayarkan melalui pendapatan kotor. Padahal keuntungan perusahaan hanya 10%. Dengan begitu, sisa tarif pajak yang harus dibayarkan sebesar 30% ini berasal dari modal. Belum lagi tarif pajak lainnya sehingga kalau ditotal tarif pajaknya lebih dari 100%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau pendapatan 40% dari pendapatan kotor harus bayar pajak, berarti 10% keuntungan udah harus dipakai pajak pemerintah. 30% dari mana? Ya dari modal. Jadi, kerugian kan? Belum lagi pajak badan 20% kalau pengusahanya perseorangan pajak progresif 35% pajak karyawan karena ada 2 juta lebih karyawan yang bekerja disini relatif pendidikannya rendah jadi pajaknya majikan yang nanggung. Jadi, majikan harus bayar lagi pajak, belum lagi pajak lain-lain, kalau dihitung-hitung hampir 100% pajak yang kita bayar," kata Hotman kepada awak media usai menghadiri rapat di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024).

Hotman menegaskan apabila memang tujuannya untuk membinasakan industri hiburan, lebih baik jangan melalui konstitusi. Namun, jangan mengizinkan tempat hiburan didirikan.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, penyanyi dangdut sekaligus pemilik tempat karaoke Inul Vizta menyampaikan hal yang serupa. Menurutnya, total pajak yang harus dibayarkan oleh pengusaha sepertinya dapat melebihi 100%. Dia bilang, dampaknya bukan hanya keberlangsungan pada usaha, tetapi juga pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan tempat karaokenya, seperti karyawan dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN sebagai Pengelola Royalti Atas Lagu dan Musik yang Dimuat Dalam Layanan Musik Digital.

"Hitung-hitungannya banyak sekali ya karena yang berkepentingan di dalam usaha saya banyak selain karyawan saya juga banyak dan tentunya biaya pajak yang kita keluarkan sama saja kayak kita bunuh diri. Karena di dalam pajak ini kenapa saya bilang bukan 40-75%, tapi 100% lebih harus keluar dari kita, yang harus kita bayarkan," ujar Inul.

Tidak hanya itu, kenaikan tarif ini juga dapat berpengaruh pada perekonomian suatu daerah, misalnya Bali yang hampir sebagian besar perekonomiannya menumpu pada sektor pariwisata. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung I Gusti Agung Rai Suryawijaya menyebut aturan ini hanya akan membebani para pelaku usaha.

Sebab, kenaikan tarif pajak tersebut dapat mempengaruhi minat investor. Untuk itu, dia menolak tegas kenaikan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PJBT).

"Ini yang bahaya jadi mau buka dengan regulasi seperti ini akan memberatkan usaha. Ini yang mereka (investor) ragu-ragu, sangat susah narik investor yang datang kalau kita nggak konsisten dan melakukan (usaha menolak kenaikan pajak)," kata Rai.

Di sisi lain, dia juga mengkhawatirkan terkait wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang mengunjungi Bali. Sebab, dengan berkurangnya wisatawan yang datang, perekonomian Bali diperkirakan akan kolaps. Apalagi hampir sebagian besar perekonomian di Bali bergantung pada sektor pariwisata.

Dia bilang sektor pariwisata baru pulih setelah diterpa badai pandemi covid-19 lalu. Hal ini diperkuat dengan jumlah kunjungan wisatawan di Bali pada tahun 2023 melampaui target yang ditetapkan Pemerintah Bali yakni 5,2 juta wisatawan. Padahal targetnya sebanyak 4,5 juta.

"Kami khawatir kalau wisatawannya berkurang, tentu perekonomian Bali akan kolaps lagi karena 60% Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Makanya lebih banyak wisatawan yang datang, pajak nggak usah diturunkan. Kan pendapatan daerah dari pajak hiburan akan bertambah," jelasnya.

Dia meminta kepada pemerintah untuk jangan mematikan industri usaha, khususnya di Bali. Sebab, dari 4,3 juta penduduk Bali sebanyak 1,2 juta penduduk bekerja di sektor pariwisata dan subsektor pariwisata.

"Kami meminta kepada pemerintah walaupun sudah melakukan judicial review untuk melakukan evaluasi. Pemerintah daerah yang tahu persis keadaan daerahnya harus tegas berani harusnya mau dengan surat edaran (yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri) saja cukup mengembalikan ke aturan yang lama," lanjutnya.

Simak Video 'Ketua GIPI: Kenaikan Pajak Hiburan Belum Pernah Disosialisasikan Pemerintah':

[Gambas:Video 20detik]




Menko Airlangga Tegaskan Kepala Daerah Bisa Berikan Insentif Pajak ke Pengusaha Hiburan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah daerah (Pemda) dapat memberikan insentif pajak fiskal kepada para pelaku usaha hiburan. Hal ini tertuang dalam surat edaran (SE) Nomor 900.1.13.1/403/SJ yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan Dalam Negeri (Kemendagri) tanggal 19 Januari 2024 lalu.

Surat edaran ini dikabarkan banyak menuai keraguan oleh kepala daerah. Untuk itu, sejumlah perwakilan pengusaha Perhotelan dan Jasa Hiburan, seperti Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani, Hotman Paris Hutapea dan Inul Daratista menggelar pertemuan di Kantor Kemenko Perekonomian.

Dalam pertemuan tersebut, Airlangga menekankan SE tersebut dapat menjadi acuan bagi kepala daerah yang ingin memberikan insentif pajak fiskal.

"Masukkannya tadi sudah kita terima semua. Saya minta, solusinya tadi dengan SE Mendagri. Pada waktu di Istana, saya sampaikan bahwa akan ada SE, dan Kepala Daerah bisa mengacu kepada SE Mendagri," kata Airlangga melalui keterangan tertulis, Senin (22/1/2024).

SE tersebut berdasarkan pada pasal 101 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2022 yang mengamanatkan para kepala daerah baik Gubernur, Bupati dan Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.

Selanjutnya, surat edaran ini juga mengacu pada Pasal 99 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mengamanatkan bahwa insentif fiskal dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak (WP) atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan yang ada, Airlangga mengatakan Kepala Daerah memiliki kewenangan yang diberikan Undang-undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) untuk melakukan pengurangan tarif PBJT atas Jasa Hiburan yang tarifnya 40% sampai dengan 75%.

Dengan kewenangan tersebut, Kepala Daerah dapat mengurangi tarif PBJT hiburan sama dengan tarif sebelumnya. Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif PBJT hiburan tersebut cukup ditetapkan dengan Perkada.

"Dengan demikian, pelaksanaan kewenangan Kepala Daerah tersebut cukup mengacu kepada UU HKPD, PP Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1/403/SJ tanggal 19 Januari 2024," jelasnya.


Hide Ads