Hotman Paris-Inul Desak Pajak Hiburan Ditunda, Ini Alasannya

Hotman Paris-Inul Desak Pajak Hiburan Ditunda, Ini Alasannya

Anisa Indraini - detikFinance
Selasa, 23 Jan 2024 09:00 WIB
Jakarta -

Pengusaha industri jasa hiburan termasuk pengacara kondang Hotman Paris Hutapea hingga penyanyi dangdut Inul Daratista menyambangi kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (22/1). Mereka meminta pajak hiburan 40-75% untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa dibatalkan.

Hotman Paris mengatakan selama prosesnya, pihak pengusaha jasa hiburan tidak pernah dilibatkan. Termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut sampai marah.

"Saya dari Minggu lalu sudah dapat informasi bahwa Pak Jokowi sendiri tidak dilaporkan secara detail tentang besaran pajak 40% dan beliau marah. Ini informasi bukan saya dapat dari Menko Perekonomian, saya dapat minggu lalu," kata Hotman Paris di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Presiden pun sangat marah atas tarif pajak yang sangat tinggi tersebut," tambahnya.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung, I Gusti Agung Rai Suryawijaya menolak tegas kenaikan pajak hiburan 40-75%. Dia bilang kenaikan tarif ini dapat memberatkan para pelaku usaha.

ADVERTISEMENT

"Ini yang bahaya jadi mau buka dengan regulasi seperti ini akan memberatkan usaha. Ini yang mereka (investor) ragu-ragu, sangat susah narik investor yang datang kalau kita nggak konsisten dan melakukan (usaha menolak kenaikan pajak)," kata Rai.

Di sisi lain, dia juga mengkhawatirkan terkait wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang mengunjungi Bali. Sebab, dengan berkurangnya wisatawan yang datang, perekonomian Bali diperkirakan akan kolaps. Apalagi hampir sebagian besar perekonomian di Bali bergantung pada sektor pariwisata.

Apalagi sektor pariwisata baru pulih setelah diterpa badai pandemi COVID-19 lalu. Hal ini diperkuat dengan jumlah kunjungan wisatawan di Bali pada 2023 melampaui target yang ditetapkan Pemerintah Bali yakni 5,2 juta wisatawan. Padahal targetnya sebanyak 4,5 juta.

"Kami khawatir kalau wisatawannya berkurang, tentu perekonomian Bali akan kolaps lagi karena 60% Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Makanya lebih banyak wisatawan yang datang, pajak nggak usah diturunkan. Kan pendapatan daerah dari pajak hiburan akan bertambah," jelasnya.

Dia meminta kepada pemerintah untuk jangan mematikan industri usaha, khususnya di Bali. Sebab, dari 4,3 juta penduduk Bali sebanyak 1,2 juta penduduk bekerja di sektor pariwisata dan subsektor pariwisata.

"Kami meminta kepada pemerintah walaupun sudah melakukan judicial review untuk melakukan evaluasi. Pemerintah daerah yang tahu persis keadaan daerahnya harus tegas berani harusnya mau dengan surat edaran (yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri) saja cukup mengembalikan ke aturan yang lama," lanjutnya.

Kemudian Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menyebut berbagai asosiasi hiburan akan mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan pajak hiburan 40-75% yakni Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2022.

Sambil menunggu proses hukumnya, ia meminta tarif pajak hiburan kembali seperti semula. "Kami ingin pasal 58 ayat (2) dibatalkan," tegas Hariyadi.

Pemerintah Tegaskan UU HKPD Tetap Berlaku

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pajak hiburan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Besarannya yakni minimal 40% dan maksimal 75%.

"Untuk aturannya tetap di HKPD, bukan UU Nomor 28 Tahun 2009, itu sudah diganti ke UU HKPD," kata Airlangga di kantornya.

Dalam pertemuannya dengan pengusaha industri jasa hiburan, Airlangga menjelaskan bahwa ada insentif pajak yang bisa diberikan pemerintah daerah untuk pelaku industri jasa hiburan.

Insentif fiskal yang dimaksud berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, atau penghapusan atas pokok pajak, pokok retribusi dan/atau sanksinya. Itu bisa diberikan atas permohonan wajib pajak berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar, kondisi tertentu seperti bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan, serta untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah.

"Dalam pasal 101 itu diberikan diskresi kepada kepala daerah untuk memberikan insentif, dengan insentif untuk invesment dan mendorong pertumbuhan yang lain, itu dimungkinkan pajak itu di bawah 70% bahkan di bawah 40%," jelasnya.

Airlangga menyebut pemerintah daerah saat ini sudah bisa memberikan insentif tersebut. Hal ini seiring terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Jasa Kesenian dan Hiburan Tertentu Berdasarkan UU HKPD.

"SE Mendagri sudah menegaskan itu. Pemda bisa menerapkan dengan jabatannya, dengan kewenangannya, dia bisa melakukan keputusan dengan di konsultasikan ke DPRD," jelas Airlangga.

Keputusan pemerintah daerah untuk memberikan insentif pajak hiburan disebut bisa langsung dijalankan tanpa perlu SE dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Meski begitu, hal ini tidak bersifat wajib dan diserahkan kepada Pemda masing-masing.

"Namanya insentif tergantung kepala daerah. Ini kan namanya diskresi, diskresi kan bisa diberi, bisa tidak diberikan," ucapnya.

(aid/rrd)

Hide Ads