Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghimpun masukan terkait harga jual patokan terendah benih bening lobster (BBL) alias benur di tingkat nelayan. Hal itu dilakukan KKP agar nelayan mendapatkan harga terbaik saat menjual hasil tangkapan.
Serap aspirasi dilakukan lewat kegiatan konsultasi publik yang berlangsung di Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Senin (12/02/2024). Kepala Biro Hukum KKP Effin Martiana, menjelaskan konsultasi publik adalah yang ketiga setelah dua agenda sebelumnya di Sukabumi dan Cilacap.
"Konsultasi publik di NTB ini dapat dikatakan paket lengkap dan tidak kita dapatkan saat di Sukabumi dan Cilacap, karena di sini peserta yang hadir, ada dari nelayan penangkap dan juga pembudidaya BBL, sehingga kita mendapatkan masukan dari dua sudut pandang, dan ini sangat penting untuk mendapatkan informasi terkait kondisi mereka di lapangan," kata Effin dalam keterangan resmi ditulis Kamis (15/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Effin menjelaskan bahwa harga patokan terendah BBL yang diusulkan KKP adalah Rp 8.500. Angka tersebut diusulkan melihat beberapa indikator utama penetapan harga patokan terendah benur yakni permintaan, persaingan, biaya, dan laba dengan dasar pertimbangan yaitu biaya variabel produksi, biaya tetap produksi, dan margin keuntungan yang diterima nelayan. Namun, KKP masih menunggu masukan dan informasi lainnya dari nelayan untuk dijadikan pertimbangan hingga akhirnya harga patokan terendah BBL dapat ditetapkan.
Menurut Effin, konsultasi publik merupakan tahapan penting sebelum dilakukan penetapan atas rancangan peraturan perundang-undangan. Sebab penetapan harga patokan terendah benur akan melengkapi rancangan pengaturan mengenai penangkapan, pembudidayaan, dan pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan (LKR) yang akan menggantikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan LKR di WNRI. Regulasi itu diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2022 yang saat ini masih dalam proses menunggu pembahasan harmonisasi.
"Maka dari itu, konsultasi publik ini membutuhkan partisipasi aktif dari para peserta untuk memberikan pendapatnya agar aturan yang dihasilkan pemerintah dalam hal ini KKP dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang benar-benar diperlukan di lapangan dan tentunya dapat diimplementasikan," terang Effin.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Muslim, menjelaskan NTB merupakan salah satu wilayah dengan potensi Benih Bening Lobster. Berdasarkan data tahun 2020 estimasi potensi BBL di NTB mencapai total 11.024.830 ekor dengan kisaran harga jual BBL pasir sebesar Rp 10.000 sampai dengan Rp 18.000/ekor dan harga BBL Mutiara sebesar Rp 35.000/ekor sampai dengan Rp 42.000/ekor. Jumlah nelayan penangkap BBL di NTB sendiri tercatat sebanyak 10.390 orang.
Di sisi lain, sejumlah nelayan tradisional juga menyampaikan pendapat mereka saat konsultasi publik berlangsung. Salah satunya, Sudarmono, seorang nelayan asal Lombok. Ia menegaskan selain menetapkan harga patokan terendah BBL untuk nelayan penangkap, pemerintah juga perlu memikirkan harga patokan bagi para pembudidaya.
"Pemerintah juga harus memikirkan harga patokan untuk pembudidaya, karena kadang kala saat panen, harganya (lobster) ini rendah, jadi ini perlu dipikirkan juga," terang Sudarmono.
Melalui konsultasi publik di Provinsi Nusa Tenggara Barat ini, para nelayan menyampaikan usulan terkait harga patokan terendah sebesar Rp 9.400/ekor sampai dengan Rp 12.500/ekor. Mereka berpesan pemerintah perlu memerlukan kajian mendalam terhadap harga patokan terendah BBL sehingga tidak merugikan nelayan.
(das/das)