Rahmat menggulung helaian demi helaian benang pancing miliknya. Ia tengah bersiap untuk berangkat ke 'medan perang' untuk mencari ikan.
Pada hari itu cuaca di Pulau Maratua cukup mendung. Karena itulah, akhirnya ia memutuskan hanya pergi memancing di sekitar pantai. Beberapa hari terakhir ombak sedang tinggi sehingga nelayan agak kesulitan melaut. Meski begitu, ia memprediksikan dalam waktu dekat cuaca akan membaik.
"Dari bulan 11 sampai ke bulan 2 (curah hujan tinggi). Ini kan kemarin parah dia hujan. Hujannya ini sekarang sisa-sisanya sudah mungkin. Ikan itu tergantung juga, rezeki itu kan Tuhan yang atur. Kalau kita kadang-kadang 1 hari bisa 5 kilo 10 kilo 1 hari tiap hari melaut," kata Rahmat, ditemui di depan kedai makanan miliknya, di Pulau Maratua, Kalimantan Timur, Senin (26/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ramhat mengatakan, sekitar 80% masyarakat Pulau Maratua berprofesi sebagai nelayan, seperti dirinya. Namun seiring dengan perkembangan sektor pariwisata di sana, sejumlah masyarakat mulai beralih profesi menjadi supir speedboat.
"Boleh begitu, nelayan sambil speed boat. Ada juga yang sendiri-sendiri (hanya punya satu profesi), kebanyakan nelayan. Di sini kurang lebih 30 unit speedboat yang jalan. Itu pribadi punya. Tetap juga dia jumlah nelayan nggak berkurang, mereka juga mungkin ada kesempatan untuk melaut, atau antar tamu (speedboat). Yah menyesuaikan (profesi), jadi terus kegiatan kan," jelasnya.
![]() |
Ada masyarakat yang berprofesi tunggal, ada juga yang ganda, kadang kala melaut sebagai nelayan dan kadang sebagai supir speedboat. Meski begitu, menurutnya, hal ini tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah nelayan di Pulau Maratua.
Di samping itu, Rizal merasakan pandangan yang sedikit berbeda. Dulunya, ia berprofesi sebagai nelayan. Namun kini, ia aktif menjadi supir speedboat. Menurutnya, bekerja sebagai supir speedboat lebih menguntungkan ketimbang menjadi nelayan.
"Dulunya nelayan, jadi pe-speed. Lebih bisa nerima uang di speed dibandingkan nelayan," kata Rizal.
Rizal sendiri merupakan pria berumur 38 tahun yang telah memiliki empat orang anak. Ia telah tinggal di Maratua sekitar 20 tahun lamanya. Menurutnya, pekerjaan sebagai supir speedboat lebih pasti penghasilannya, ketimbang nelayan yang nasibnya tak menentu.
"Nelayan hanya berharap," ujarnya.
Perkembangan pariwisata di Pulau Maratua mendatangkan perubahan bagi mata pencaharian warga. Resort-resort, kedai, serta destinasi wisata lainnya mulai dibangun seiring berjalannya waktu. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkan peluang-peluang yang terbentuk.
"Ada warga yang jual tanah buat ini, beli speed (boat). Ini mayoritas nelayan semua, cuman masuk investor China buat resort," ujar Saldi, Prajurit TNI AL yang bertugas di Pulau Maratua.
Meski ia belum lama berdinas di sana, namun telah banyak cerita dan sejarah panjang yang ia dengar tentang pulau tersebut. Salah satunya tentang geliat pariwisata di sana.
"Speedboat itu termasuk baru, sekitar 5 tahunan. Dulu ada tapi jarang. Mulai rame garai-gara resort ini. Sebenarnya 2001 sudah mulai ada Paradise, resort pertama di Maratua, menarik pengunjung sampai dibangun bandara," ujarnya.
Kepala Camat Maratua Ariyanto mengatakan, Maratua mulai berkembang setelah pemekaran pada tahun 2002 dan berpisah dari Pulau Derawan. Pada kala itu, Kecamatan Maratua secara bertahap mulai berkembang secara pembangunan. Sektor wisata hingga resort-resort mulai banyak yang masuk pada 2005.
"Maratua di tahun sebelum pisah dari Kecamatan Derawan itu sudah mulai dilirik. Tapi pada saat itu akses ke sini sangat susah. Resort belum ada, baru ada Nabucco. Nabucco yang buka pertama kali resort, asing dari Jerman. Kemudian tahun 2002 kita pemekaran. Saat itulah dengan adanya Kecamatan Maratua itu secara perlahan pembangunan mulai meningkat kemudian berwisata dan resort mulai dibangun sehingga kita di 2005 wisatawan mulai meningkat," terang Ariyanto.
Ariyanto berharap ke depannya Maratua bisa berkembang, bukan hanya di tingkat nasional tetapi hingga mancanegara. Namun, ada satu tantangan besar yang harus diselesaikan yaitu menyangkut masalah akses dan transportasi. Meski sudah memiliki bandara sendiri, penerbangan hingga kapasitas pesawat di sana terbilang masih sangar minim.
"Jadwal penerbangan, seat kursi terbatas, dan armada. Di sini hanya ada armada Susi Air yang kapasitas 12 orang. Itu pun jadwal yang ke Pulau Tarakan dan Kabupaten Berau hanya 1 minggu sekali, jadi itu sangat terbatas bagi wisatawan," katanya.
Harapannya, ke depan paling tidak ada penambahan jadwal penerbangan untuk pesawat jenis ATR 72. Hal ini pun sebelumnya telah menjadi rencana besar Pemerintah Kabupaten Berau bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, akan masuk maskapai Citilink.
"Namun sampai saat ini masih dalam proses Kemenhub dan saya dapat info yang menjadi kendala adalah masalah tarif. Saat ini tarif tersebut masih direncanakan, ada black seat. Itu masih direncanakan black seat-nya kalau dia 58% ke atas berarti ditanggung oleh armada tapi kalau 58% ke bawah ada subsidi Pemda. Jadi seperti ini, tapi ini baru wacana," ujar dia.
(shc/kil)