Raksasa transportasi Uber setuju membayar US$ 178 juta atau sekitar Rp 2,77 triliun (asumsi kurs Rp 15.600) atas gugatan yang diajukan operator taksi di Australia. Mereka mengaku kehilangan pendapatan ketika Uber muncul di Negeri Kangguru itu.
Gugatan class action diajukan pada tahun 2019 di Mahkamah Agung negara bagian Victoria atas nama lebih dari 8.000 pemilik taksi, pengemudi, dan pengusaha mobil sewaan. Uber dituding melanggar undang-undang yang mengharuskan taksi dan mobil sewaan dilengkapi lisensi.
Dalam dokumen gugatan, munculnya Uber pada 2012 dianggap menggerus pendapatan taksi berlisensi. Tapi Uber menampik dan menyebut pihaknya tidak melakukan pelanggaran secara sengaja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Uber berjuang secara maksimal," kata Kepala pengacara di Maurice Blackburn, Michael Donelly dalam keterangannya, dikutip dari Reuters, Senin (18/3/2024).
Juru bicara Uber mengatakan pihaknya telah berkontribusi pada skema kompensasi taksi tingkat negara bagian sejak tahun 2018. Sementara itu, mantan anggota parlemen dan sopir taksi Rod Barton, yang merupakan salah satu anggota gugatan class action, menilai Uber sengaja menghindari peraturan perizinan taksi di negara tersebut.
"Mereka tahu betul bahwa pengemudi dan kendaraan mereka harus memiliki izin penuh," ujarnya.
Tapi, kata dia, Uber memilih tidak melakukannya dan fokus mendulang keuntungan. Uber juga dinilai mengesampingkan industri taksi yang sudah ada.
(ily/kil)