Lion Group memiliki beberapa jurus untuk meningkatkan keamanan selama penerbangan dan juga keselamatan penumpang. Jurus itu diaplikasikan dengan mematuhi peraturan penerbangan yang berlaku dan ketika pilot melakukan training.
Head of Training and Development Lion Group Training Center Capt Taufik Hidayat menuturkan dalam dunia penerbangan ada peraturan makro yang harus dipatuhi oleh pilot dan diikuti oleh maskapai. Peraturan itu salah satunya mengatur jam kerja pilot ketika mengoperasikan pesawat.
"Kita common practice di dunia penerbangan yang semuanya sudah diatur, contohnya seperti maksimum jam Itu makro, ya. Minimum istirahat ada. Ada, tuh, aturannya. Saya maksimum terbang kalau berdua dengan pesawat yang besar itu 9 jam. Even lebih 1 menit, tambah 1 pilot. 3 orang. Itu makronya udah ada," ungkap Capt Taufik kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Makro tersebut tak hanya mengatur maksimum jam terbang bagi para pilot, tetapi juga mengatur jam istirahat, jumlah minimum crew pesawat hingga kondisi non normal ketika pilot yang bertugas saat itu sedang sakit sebelum terbang atau ketika terbang.
Capt Taufik menuturkan dalam dunia operasi ada minimum crew yang sudah ditentukan. Misalnya, sebuah pesawat terbang 0-9 jam, maka minimum crew adalah 2 orang. Ketika 9-12 jam minimum crew 3 orang dan 12 jam ke atas minimum crew 4 orang.
Sewaktu-waktu pilot yang bertugas sakit dan sebuah pesawat tidak memenuhi minimum crew, maka pesawat itu tidak bisa terbang.
"Jadi kalau sudah ada 2 dan di bawah minimum itu nggak boleh terbang. Tapi kalau ada pilot 3, saat itu terbang, ternyata 1 sakit. Masih ada 2, berangkat. Jadi kalau misalkan penerbangan di bawah 9 jam (minimum crew 2) kalau 1 sakit yang tidak bisa terbang," kata Capt Taufik.
"Sakitnya ada 2 ya. Sakit sebelum terbang atau sebelum masuk pesawat, sakit, gak akan berangkat pesawat. Sakit pas masuk pesawat, belum airborne, balik, pesawat sudah airborne, sakit 1 balik, karena minimum. Pesawat terbang lurus, sakit 1 tinggal pilih ke Jakarta atau Surabaya ya balik, ternyata lebih dekat ke Jakarta. Dan itu guidenya, kita (Lion Group) gak berani melewati itu," sambungnya.
![]() |
Tak hanya ketika pengoperasian saja, Lion Group juga menerapkan pelatihan yang dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini dilakukan agar pilot-pilot yang mengikuti latihan di Lion Group Training Center (LGTC) dapat menjadi pilot yang baik dan berkualitas.
Capt Taufik menuturkan pilot-pilot Lion Group diharuskan menggunakan simulator yang dimiliki oleh LGTC selama 6 bulan sekali. Adapun LGTC memiliki 10 simulator pesawat yang terdiri dari 5 simulator Boeing 737-900 NG, 3 Airbus A320, dan 2 ATR.
"Kalau pilot yang profesional bisa menggunakannya 10 kali. Ada pilot yang baru-baru yang baru lulus SMA, terus flight school Itu bisa 20 kali menggunakan alat ini. Pun demikian, setelah mereka selesai. Itu setiap 6 bulan sekali mereka menggunakan ini. Alat ini. Dan mungkin kurang lebih hanya 2 kali, 1 session itu 6 jam," imbuh Capt Taufik.
Sebagai pilot aktif, Capt Taufik pun juga diharuskan mempertahankan license atau izin terbangnya dengan menggunakan simulator tersebut 6 bulan sekali. Hal tersebut adalah ujian profisiensi yang jadi syarat kelulusan dalam pengoperasian pesawat.
"Kita punya ujian profisiensi pilot. Ada syarat-syarat kelulusan dalam menghandle ini. Makanya dibuat 2 yang satu tes, yang satu training. Saya selalu cek dan training cek. Nah kalau ceknya tidak lulus, ya tidak boleh memperpanjang license (penerbangan) itu. Kita pun sebagai kesatuan profesi juga menyadari itu. Sebagai suatu komunitas perusahaan juga menyadari itu," ujarnya.
Capt Taufik tak sungkan menuturkan bila apa yang dilakukan saat training atau simulasi sudah benar, maka outputnya akan ideal. Apalagi dengan Lion Group yang sudah menerapkan 4 unsur dalam pelatihan yaitu instruktur, murid, silabus dan juga fasilitas training.
"Dari 4 itu environment itu kita lakukan semua, saya cuma kerja simple, saya harus menjaga hal yang kecil, saya sebenernya gak pengen kesalahan itu di kita semua. Nah kami konsen di training itu yang training itu humannya, supaya human yang bicara skill itu hilang jadi kita tinggal berbicara human performance/factornya aja," ucapnya.
(anl/ega)