Eksistensi 'Manusia Sampan' di Sunda Kelapa, Sulit Dapat Pelanggan-Hidup Miskin

Eksistensi 'Manusia Sampan' di Sunda Kelapa, Sulit Dapat Pelanggan-Hidup Miskin

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Rabu, 24 Apr 2024 08:30 WIB
Ojek Sampan
Foto: Ignacio Geordy Oswaldo
Jakarta -

Ojek sampan jadi salah satu layanan rekreasi yang tersedia di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Namun kini eksistensinya mulai terlupakan hingga kini mereka harus hidup sangat dekat dengan garis kemiskinan karena sepi pelanggan.

Bakar (78), selaku tukang ojek sampan di kawasan itu mengatakan pada awalnya profesi sudah digelutinya itu selama lebih dari 32 tahun sangatlah menjanjikan. Sebab saat itu Pelabuhan Sunda Kelapa ini sangatlah ramai.

Kondisi ini terjadi sekitar tahun 1970-2013, di mana kala itu ia menyebut dalam sehari ia bisa narik lebih dari 7 kali. Berkat itu kantongnya selalu terisi penuh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tahun 70an, 80an, itu masih ramai di sini. Banyak orang naik untuk menyebrang (dari pelabuhan) ke pasar ikan (Kawasan Pasar Ikan Luar Batang atau Kampung Akuarium). Dulu kan orang kapal, buruh, pada menyeberang," kata Bakar saat ditemui detikcom, Selasa (23/4/2024) kemarin.

"Dulu nggak pernah kosong itu kantong, sampai capek kita dayung. Dulu kan sampannya belum pakai mesin," terangnya lagi.

ADVERTISEMENT

Seiring berjalannya waktu, layanan ojek sampan ini mulai ditinggal wisatawan, baik lokal maupun asing. Kondisi ini semakin diperparah sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia hingga ia harus berhenti bekerja sebagai ojek sampan sekitar dua tahun.

Beruntung setelah pembatasan mulai dilonggarkan, ia bisa kembali 'berlayar' dengan sampan kecilnya. Namun saat ini ia hanya bisa mendapat satu sampai dua pelanggan dalam seminggu. Itu pun kalau benar ada pelanggan, sebab terkadang dalam satu minggu ia tidak mendapat pelanggan sama sekali.

"Dalam seminggu yang paling satu dua kali narik doang tadi, itu juga kalau dapat. Kan nggak menentu, kadang nggak dapat sama sekali," ungkap Bakar.

Padahal untuk sekali narik, Bakar biasanya mengenakan tarif sebesar Rp 100.000. Tapi ada kalanya pelanggan meminta diskon, sehingga pendapatannya dalam sekali narik sampan kurang dari jumlah tersebut.

"Biasanya sih Rp 100.000, kita bawa keliling mereka sampai mercusuar sana. Tapi ya kadang ada juga kan yang minta diskon. Jadi kadang di bawah itu juga harganya. Paling kecil sekarang Rp 70.000 lah," jelas Bakar.

Kondisi serupa juga dirasakan oleh tukang ojek sampan lainnya bernama Lupi (61). Ia yang juga sudah menjadi manusia sampan sejak 1970-an mengatakan saat itu banyak pekerja kapal dan warga sekitar menggunakan jasanya.

Namun kondisi ini berubah sejak kawasan di sekitar pasar ikan dibangun tanggul. Ia juga mengatakan dalam seminggu hanya bisa mendapat satu sampai dua pelanggan.

"Ya kan kita di sini gantian narik pelanggan. Kalau ada satu untuk saya, nanti kalau ada lagi ya untuk pak Bakar. Jadi sama aja kalau pelanggan mah," terang Lupi.

Ia juga mengenakan tarif sekali perjalanan yang sama dengan Bakar. 'Diskon' maksimal dalam sekali perjalanan yang bisa ia beri untuk pelanggan juga sama yakni Rp 30.000, jadi Rp 70.000 untuk sekali jalan.

Hidup di Garis Kemiskinan

Jika dihitung-hitung, baik Bakar maupun Lupi bisa menarik sampan paling banyak delapan kali dalam sebulan. Jika dihitung dengan tarif maksimal yang bisa mereka dapat, dalam sebulan penghasilan manusia sampan ini hanya Rp 800.000 per bulan.

Sementara Bakar dan Lupi, sering kali tidak mendapatkan penumpang dan uang sebanyak itu. Sehingga kondisi mereka kini bisa dibilang sangat dekat dengan lubang kemiskinan.

Sebab berdasarkan data terakhir BPS, per 2023 kemarin angka garis kemiskinan secara nasional sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan. Sedangkan angka garis kemiskinan di DKI Jakarta sebesar Rp 792.515 per kapita per bulan.

Garis kemiskinan merupakan suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin. Sehingga mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah standar itu kan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

Artinya mereka yang tidak memiliki pendapatan lebih besar dari angka tersebut dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sebab jika pendapatan mereka di bawah angka itu, artinya mereka tidak punya cukup uang untuk berbelanja kebutuhan hidup sesuai standar tadi.

Kondisi inilah yang kemudian dirasakan oleh para manusia sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa saat ini. Karena penghasilan mereka paling tinggi dalam sebulan tidak sampai Rp 800.000 atau sangat dekat dengan garis kemiskinan.

(rrd/rir)

Hide Ads