Pengusaha Maskapai Buka Suara soal Iuran Pariwisata dalam Tiket Pesawat

Pengusaha Maskapai Buka Suara soal Iuran Pariwisata dalam Tiket Pesawat

Aulia Damayanti - detikFinance
Kamis, 25 Apr 2024 17:09 WIB
Ketua Umum Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja
Ketua Umum Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja - Foto: Dok. INACA
Jakarta -

Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) angkat bicara terkait rencana iuran pariwisata yang akan masuk dalam komponen harga tiket pesawat. Hal itu merupakan kebijakan yang digagas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Ketua Umum Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja menilai hal itu akan menambah beban penumpang dan maskapai penerbangan. Beban yang dimaksud salah satunya terkait akan terjadi kenaikan tiket pesawat.

Maskapai juga akan terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket dianggap mahal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan demikian pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai," kata dia dalam keterangannya Kamis (25/4/2024).

Denon menambahkan, saat ini bisnis penerbangan juga sedang dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi COVID -19 pada tahun 2020 sampai dengan 2022 lalu.

ADVERTISEMENT

Selain itu banyak kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia sehingga proses rebound tidak bisa berlangsung lancar jika dibandingkan dengan maskapai penerbangan internasional.

Denon menyebut ada sejumlah permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan.

Selain itu juga meningkatnya biaya operasi yang disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar avtur dan nilai tukar mata uang Rupiah yang terus melemah terhadap mata uang Dolar AS.

Padahal sekitar 70% biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh Dolar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya.

Sementara itu, tarif penerbangan sejak tahun 2019 sampai saat ini belum disesuaikan oleh pemerintah padahal komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat.

"Misalnya untuk kurs Dolar AS dari tahun 2019 sebesar Rp 14.102 dan tahun 2024 menjadi Rp 16.182 atau meningkat 15%. Harga jual minyak juga terus naik, di mana tahun 2024 ini mencapai 87,48 US$/barel atau meningkat 37% dibanding tahun 2019 yaitu 64 US$/barel," ujar dia.

(ada/kil)

Hide Ads