Pihak Sekolah Luar Biasa (SLB)-A Pembina Tingkat Nasional buka suara soal alat belajar bantuan dari perusahaan Korea Selatan, OHFA Tech yang ditagih ratusan juta oleh Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta (Soetta). Bea Cukai Soekarno Hatta sebelumnya menyebut tagihan tersebut disebabkan karena alat belajar itu tidak dilaporkan sebagai barang hibah.
Namun, Rizal, guru di SLB-A Pembina Tingkat Nasional sekaligus pemilik akun X (dulu Twitter) @ijalzaid, pihak yang pertama mengungkap kasus ini menyebut sudah melengkapi dokumen pernyataan barang hibah dari pihak sekolah. Pernyataan itu juga disampaikan oleh OHFA Tech.
"Waktu itu kami juga sudah lengkapi dokumen pernyataan barang hibah dari pihak sekolah dan dari pihak OHFA Tech," ujar Rizal kepada detikcom, Sabtu (27/4/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rizal pihak Bea Cukai sempat meminta melakukan redress atau perbaikan data namun ditolak. Pihak SLB juga sudah bersurat ke Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Kemendikbud, namun koordinasi tidak berjalan lancar.
"Ini kami diminta redress dulu untuk ditujukannya bukan ke SLB, tapi ke PIC SLB setelah itu redress ditolak. Baru kami kebingungan, lalu bersurat ke Kemendikbud ke Direktorat PMPK. Setelah itu koordinasi-koordinasi kurang berjalan lancar, karena kebingungan aturan," jelas Rizal.
Sebelumnya, Kepala Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta (Soetta) Gatot S Wibowo mengklaim pihak SLB tidak melaporkan alat bantu belajar untuk tunanetra itu disampaikan sebagai barang hibah.
"Kami masih koordinasikan dengan pihak SLB dan dinas terkait untuk memenuhi persyaratan mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impornya atas hibah tersebut. Karena sebelumnya dari pihak penerima tidak menyampaikan bahwa barang tersebut hibah," katanya kepada detikcom, Sabtu (27/4/2024).
Menurut Gatot, jika persyaratan dokumen terpenuhi dan alat tersebut terbukti hasil hibah maka tagihan senilai ratusan juta rupiah akan dihapuskan. Ia berharap kasus ini dapat segera terselesaikan.
Dikutip dari akun X Rizal @ @ijalzaid, berikut kronologi alat belajar SLB ditagih ratusan juta oleh Bea Cukai Soetta. Langsung klik halaman berikutnya.
Dalam keterangan Rizal, Bea Cukai membutuhkan dokumen tambahan untuk pemrosesan barang dan penetapan harga barang tersebut. Dokumen tersebut mencakup link pemesanan yang tertera harga, spesifikasi, dan deskripsi per item barang.
Lalu, invoice atau bukti pembayaran yang telah divalidasi bank, katalog harga barang, gambar dan spesifikasi masing-masing item, serta nilai freight. Selain itu diperlukan juga dokumen lainnya yang mendukung penetapan.
Pihak sekolah sudah mengirimkan dokumen yang dibutuhkan sesuai persyaratan. Namun barang tersebut merupakan prototipe yang masih dalam tahap pengembangan dan merupakan barang hiba sehingga tidak ada harganya.
"Setelah itu kami dapat email tentang penetapan nilai barang sebesar US$ 22.846.52 (kurs Rp 15.688) Rp 361.039.239 dan diminta mengirimkan kelengkapan dokumen," jelasnya.
Dokumen yang dimaksud mencakup:
1. Konfirmasi setuju bayar PIBK (estimasi duty tanpa NPWP = Rp 116.616.000. Duty akan ditagih ke pihak shipper
2. Lampiran surat kuasa
3. Lampiran NPWP sekolah
4. Lampiran bukti bayar pembelian barang yang valid (bukti bayar bank/credit/paypall/western union).
5. konfirmasi barang baru/bukan baru.
Kemudian pihak sekolah tidak setuju dengan pembayaran pajak tersebut dikarenakan barang tersebut merupakan hibah alat pendidikan untuk digunakan siswa tuna netra. Namun dokumen lainnya yang diminta tetap dikirim pihak sekolah.
Pihak sekolah lalu mendapat email yang menyarankan barang tersebut di redress dengan mengisi sejumlah dokumen. Saran tersebut diiiyakan, namun tetap tidak disetujui.
"Setelah diproses cukup lama, kami dapat email kembali bahwa barang kiriman tersebut akan dipindahkan ke tempat penimbunan Pabean. Setelah itu barang sudah cukup sulit diproses kembali karena mengharuskan sekolah membayar pajak yang telah dihitung sebelumnya," tuturnya.
SLB-A Pembina Tingkat Nasional lalu menghubungi OHFA Tech untuk berkoordinasi, serta menghubungi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar mendapatkan bantuan. Namun belum ada titik terang mengenai kasus ini hingga sekarang.
"Kemudian kami tidak mengerti proses kelanjutan dari barang tersebut sampai dengan saat ini," tutupnya.