Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Bikin Penerimaan Negara Turun, Kok Bisa?

Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Bikin Penerimaan Negara Turun, Kok Bisa?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 10 Mei 2024 15:05 WIB
Ilustrasi Pita Cukai Rokok
Ilustrasi - Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi April melaporkan hasil penerimaan kepabeanan dan cukai per Maret 2024. Kepabeanan dan cukai mencapai Rp 69 triliun, turun hingga 4,5% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Sri Mulyani mengatakan, penurunan ini utamanya terjadi karena adanya penurunan produksi hasil tembakau. Akibatnya, cukai rokok mengalami penurunan sebesar 7,3%. "Ini karena produksi (tembakau) November-Desember menurun sebesar 1,7%, dan kebijakan pengendalian konsumsi rokok," kata Sri Mulyani.

Laporan penerimaan Kepabeanan dan Cukai Maret 2024 menunjukkan penurunan sebesar 4,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp69 triliun. Kontributor utama penerimaan cukai, yakni cukai hasil tembakau (CHT) juga terus turun sebesar 7,3% per Maret 2024. Penurunan ini disinyalir disebabkan oleh penurunan produksi industri rokok akibat kenaikan cukai eksesif pada periode 2023-2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menerangkan kenaikan tarif cukai yang mencapai double digit sejak pandemi tidak memberikan nafas bagi industri untuk memperbaiki kinerjanya sehingga berdampak pada penurunan produksi. Terutama, perusahaan-perusahaan golongan 1 yang memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara, tapi justru mengalami turun produksi paling signifikan.

"Kalau kita melihat dari capaian tahun lalu, ternyata ini (kenaikan cukai) memberikan pengaruh terhadap penerimaan negara. Selain itu, saya menggarisbawahi bahwa kenaikan tarif cukai ini tidak memiliki rumusan yang baku, sehingga para pelaku industri itu sendiri merasa khawatir ketika tarif cukai ini ditetapkan, apakah single digit atau double digit," ungkap Andry dalam keterangannya ditulis Jumat (10/5/2024).

ADVERTISEMENT

Ia mengatakan idealnya kenaikan tarif cukai bergantung kepada rumusan baku, misalnya dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi atau inflasi dan tambahan aspek kesehatan misalnya 1%. Saat ini, dia menyoroti bahwa tidak ada korelasi antara parameter ekonomi sebagai rumus baku besaran kenaikan cukai. Dalam kondisi saat ini, kenaikan cukai seharusnya single digit.

"Ini yang menurut saya perlu dirumuskan bersama. Kenaikan tarif cukai yang sekarang ini sudah per dua tahun itu harusnya memiliki rumusan yang tepat dan baku. Jadi ini yang harusnya kita dorong agar pemerintah mengeluarkan rumusan baku terkait dengan tarif cukai," katanya.

Andry menegaskan pemerintah juga perlu melakukan langkah komprehensif untuk memitigasi risiko yang akan terjadi pada kinerja IHT, khususnya yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja.

"Ketika kinerja IHT terus menurun, dampaknya itu akan cukup masif kepada tenaga kerja, terutama tenaga kerja di sektor IHT, pertanian tembakau, dan juga cengkih. Nah, ini beberapa hal yang perlu dipikirkan oleh pemerintah, tidak hanya melihat dari bagaimana penerimaan negara bisa didapatkan dari cukai," tegasnya.

Andry juga menyoroti dampak kenaikan cukai terhadap maraknya rokok ilegal. Makin tinggi tarif cukai, menurutnya, makin terbuka juga praktik rokok ilegal yang saat ini peredarannya sudah cukup masif. Banyak praktik bisnis rokok ilegal yang dilakukan secara terang-terangan.

"Salah satu alasan konsumen mencari rokok ilegal ini adalah karena mereka mencari rokok yang lebih murah. Saat ini, harga rokok sangat mahal dengan kenaikan tarif yang cukup tinggi," ujar Andry.

(kil/kil)

Hide Ads