Pengamat Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai sejauh ini pemerintah belum memiliki keharusan yang mendesak hingga perlu menambah jumlah Kementerian di RI. Sebab menurutnya selama ini jumlah Kementerian yang ada sudah cukup mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
"Indonesia sebetulnya yang 34 (Kementerian) itu sudah mumpuni dan ini juga kalau kita perhatikan dari statement dari Wakil Presiden, Pak Ma'ruf Amin, kan juga mengatakan jumlah Kementerian yang ada sebetulnya sudah memadai selama dia menjadi bagian dari pemerintahan," kata Firman saat dihubungi detikcom, Selasa (14/5/2024).
Di sisi lain, menurutnya penambahan jumlah Kementerian RI jadi 40 ini malah akan menghambat efektivitas pemerintahan karena berbagai hal. Misal karena adanya tumpang tindih kewenangan antar Kementerian, atau karena masalah komunikasi dan birokrasi yang semakin berbelit, dan lain sebagainya.
"Ya faktor politik akan lebih banyak ya kalau jumlah Kementerian itu dibikin jadi lebih besar. Mungkin akan lebih menampung kompensasi politik daripada upaya untuk mengefektifkan kerja-kerja ke bawah sana," terangnya.
"Karena dengan jumlah yang besar mungkin juga akan terjadi komunikasi yang tumpang tindih, kemudian ada kendala klasik seperti ego-sektoral, sehingga siapa menjalankan apa jadi tumpang tindih, kemudian menjadi tidak efisien dalam eksekusinya, dan mungkin juga ada Kementerian yang kerjaannya tidak banyak," jelasnya lagi.
Selain itu Firman mengatakan penambahan jumlah Kementerian di RI ini tentunya sedikit banyak akan berpengaruh terhadap besaran APBN yang perlu disiapkan pemerintah ke depannya. Sebab dengan adanya penambahan ini akan membuat belanja negara menjadi lebih besar.
"Dia kan harus menyediakan pendanaan untuk operasional kantor, dan lain sebagainya termasuk juga pengadaan sumber daya manusia, dan kalau kemudian itu pekerjaannya tidak kompleks (cukup rumit untuk dibentuk Kementerian baru) ya buat apa (ditambah)," kata Firman.
Namun ia sendiri tidak bisa memastikan apakah kenaikan jumlah belanja negara ini kemudian dapat memberatkan APBN. Namun menurut Firman daripada menggunakan anggaran negara untuk membentuk Kementerian baru, akan lebih baik jika dana itu disalurkan untuk program-program yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sementara itu Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio juga mengatakan rencana penambahan jumlah Kementerian RI jadi 40 boleh-boleh saja dilakukan, asalkan hal itu bisa membantu pemerintahan Prabowo-Gibran nanti dalam meningkatkan kinerja yang lebih baik.
Namun yang menjadi permasalahan adalah jika penambahan jumlah Kementerian ini dilakukan untuk bagi-bagi jabatan kepada para pendukung atau kubu politiknya. Sebab menurut Hendri yang terpenting dari pemerintahan bukanlah masalah kuantitas (jumlah Kementerian) tetap kualitas (kinerja).
"Yang jadi polemik itu kalau penambahan Kementerian itu kalau penambahan kementerian itu cuma gara-gara untuk menampung pendukung Prabowo, itu jangan ya. Jadi perdebatan ini bukan pada kuantitas, tapi pada tatanan kualitas," ucapnya.
Hanya saja menurut Hendri penambahan jumlah Kementerian dapat membuat pengeluaran negara menjadi lebih besar. Walaupun ia sendiri berpendapat dengan adanya penambahan jumlah Kementerian ini bisa membantu pemerintahan berikutnya menjalankan janji atau program-program unggulan mereka.
Misalkan saja untuk anggaran belanja pegawai jadi lebih besar karena jumlahnya jadi lebih banyak, atau bisa juga untuk biaya operasional Kementerian yang otomatis ikut meningkat, dan lain sebagainya.
"Plusnya kan mungkin bisa mempercepat kinerja pemerintahan dalam rangka memenuhi janji-janji kampanye, tentunya untuk kesejahteraan rakyat. Minusnya itu kan beban APBN (makin berat)," ucapnya.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah ikut berpendapat perlu tidaknya suatu pemerintahan menambah atau mengurangi jumlah Kementerian yang ada merupakan hak prerogatif presiden. Dalam hal ini presiden terpilih Prabowo.
"Yang berpendapat perlu atau tidak (menambah jumlah Kementerian) itu prerogatifnya presiden. Itu perlu tidak perlu itu berdasarkan analisisnya dia kan, kita tidak bisa mengatakan perlu atau tidak orang yang mengerjakan itu dia," kata Piter.
"Kan yang punya program itu Pak Prabowo, menurut saya kita tidak berhak untuk mengatakan perlu atau tidak, yang bisa mengatakan perlu atau tidak itu beliau," tegasnya lagi.
Kemudian Piter juga berpendapat efektivitas pemerintahan tidak serta merta ditentukan dari jumlah Kementerian yang ada. Melainkan dari siapa yang berada di dalam pemerintahan itu.
Namun jika pemerintah benar menambah jumlah Kementerian yang ada, tentu pengeluaran pemerintah akan semakin besar. Sama seperti yang sudah disampaikan, gaji pegawai hingga anggaran program Kementerian baru jadi faktor utama membengkaknya APBN nanti.
"(Penambahan jumlah Kementerian) ya pastilah akan menambah beban APBN. Memang Menterinya nggak digaji? Dan yang harus diingat juga setiap Menteri kan pasti akan memiliki tim, kan dia tidak bisa kerja sendirian. Setiap Menteri pasti akan memiliki staf ahli, eselon 1, eselon 2, dan pegawai Kementerian lainnya," kata Piter
"Yang pasti besar kan (biaya yang dibutuhkan) rombongan setiap Kementerian yang terbentuk. Tambah satu Menteri tambah satu rombongan, tambah dua Menteri tambah dua rombongan. Belum program kerjanya, belum kantornya," tambahnya.
Oleh karena itu Piter merasa pemerintah selanjutnya perlu mempertimbangkan betul-betul terkait rencana penambahan jumlah Kementerian ini. Walaupun menurutnya jika pemerintahan selanjutnya benar menambah jumlah Kementerian, seharusnya Prabowo bersama timnya sudah memperhitungkan betul besaran anggaran yang diperlukan.
Simak juga Video: Luhut: APBN 5 Tahun ke Depan Aman Biayai Proyek IKN
(das/das)