Masyarakat patut lebih awas dalam beraktivitas di media sosial (medsos). Aktivitas digital, yang dinilai buruk atau tak sesuai norma, yang terekam di medsos bisa-bisa membuat karier dan pekerjaan terancam.
Terbaru, ada kasus viral di mana seorang SPG Dealer Honda yang dipecat karena mengunggah konten menertawakan seorang ibu-ibu yang tengah melihat-lihat poster film di bioskop. Lalu, apakah Langkah memecat karyawan tersebut tepat?
Chairman Asosiasi Praktisi dan Profesional SDM Future HR, Audi Lumbantoruan menilai, hal ini sangat mungkin dan wajar terjadi di dunia kerja. Kondisi ini juga tentunya tidak lepas dari kebijakan di tiap-tiap perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa jadi perusahaan punya nilai-nilai kerja yang mereka pahami, pegang, yang sebenarnya bertolak belakang dengan kejadian yang dilakukan SPG tersebut. Bisa jadi mereka mempertimbangkan nama baik Honda, atau portofolio, brand image. Ini yang mungkin bisa terjadi," kata Audi, saat dihubungi detikcom, Sabtu (18/5/2024).
Apalagi, menurutnya perusahaan Jepang sangat menjunjung tinggi rasa saling menghormati antar sesama dan kejujuran. Ditambah lagi, komentar di media sosial sendiri kerap dipenuhi 'bumbu tajam' hingga menjatuhkan posisi pihak lain.
"Karena hal ini bisa jadi Honda tak mau terlibat bila nanti ada risiko di kemudian hari. Wajar perusahaan besar tak mau ambil risiko seperti itu, curiganya saya ya," ujarnya.
Di samping itu, Audi menilai bahwa perusahaan bisa saja menilai bahwa kejadian ini gambaran dari karyawan yang tidak fokus bekerja dan melanggar sejumlah aturan baku perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan biasanya telah menyampaikan aturan terkait kepada karyawan sebelum resmi masuk ke perusahaan.
"Saya melihatnya kalau misalnya sampai perusahaan mengakhiri proses kerja kontrak atau PKWT, berarti sudah sangat fatal. Artinya mempengaruhi bahkan mengancam nama baik perusahaan," kata dia.
"Kalau saya memahaminya begitu. Kalau mau memutuskan kan biasanya surat teguran dulu 3 kali, dapat kesempatan memperbaiki diri, kalau sudah sampai keputusan final dipecat artinya fatal dari pertimbangan mereka," imbuhnya.
Di sisi lain, Praktisi HR sekaligus Ketua Umum Sumber Daya Manusia Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza mengakui bahwa jejak digital punya pengaruh besar terhadap citra perusahaan. Namun ia menilai, langkah pemecatan ini belum tentu bisa 'menaikkan' citra perusahaan selepas kejadian tersebut.
Hal ini lantaran menurutnya langkah tersebut tidak berhubungan secara langsung, kecuali perusahaan itu public listed atau perusahaan Tbk, yang produknya bersentuhan langsung dengan masyarakat
"Kalau Waktu boleh diputar ulang, kalau saya jadi HR-nya, mantan karyawan itu tadi akan saya minta hubungi ibu itu, cari. Lalu minta maaf, direkam dan seterusnya. Kalau itu, reputasi perusahaannya bisa naik," kata Ivan, dihubungi terpisah.
Ivan mengatakan, bertanggung jawab merupakan satu hal pasti yang harus dilakukan. Namun di sisi lain, perusahaan juga punya tugas untuk mengembangkan dan membangun kinerja serta perilaku karyawannya.
"Dan kita nggak tahu prestasi dan kinerja karyawati ini. Misalnya dia sudah bekerja 5 tahun, selama itu performanya bagus, nggak pernah neko-neko, oke, cuma karena kejadian itu otomatis dipecat. Kan menurut saya fairness-nya perlu kita lihat," ujarnya.
Ia juga menambahkan satu catatan penting yang perlu diperhatikan perusahaan, yakni edukasi terhadap karyawannya bahwa aktivitas media sosial ia dan keluarga akan mempengaruhi kariernya dan apa sanksinya. Ivan menilai, hal inilah yang kerap luput sehingga hal-hal seperti kejadian SPG Dealer Honda dipecat secara tiba-tiba itu tak terhindarkan.
"Di sini pentingnya perkenalan ke pelatihan baru atau reminder ke karyawan lama. Penting sekali mengingatkan keluarga bahwa dia merupakan kepanjangan tangan brand tempat dia bekerja. Sering kali organisasi tak melakukan ini. Tapi ketika ada masalah, tau-tau kena sanksi," pungkasnya.
(shc/fdl)